Anies Ubah Nama Jalan dan Tindakan Urgensi Pemimpin

Anies Baswedan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lewat Pemerintah Provinsi mengganti nama 22 jalan di wilayah DKI Jakarta berdekatan dengan HUT provinsi itu yang diperingati setiap Juni 22. Kebijakan itu kembali menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

 

Alasan Anies melakukan penggantian 22 nama jalan itu adalah untuk menghormati Jasa para tokoh-tokoh Betawi yang berjuang dalam perjalanan kehidupan di Jakarta.

 

"Kita mulai dengan bersyukur kepada Allah SWT di sore yang teduh ini kita bisa berkumpul bersama di Perkampungan Betawi Setu Babakan bersama-sama menyaksikan upacara penetapan nama-nama, tokoh-tokoh Betawi, yang perannya di masa lalu telah berdampak kepada perjalanan kehidupan Jakarta, perjalanan kehidupan Indonesia. Mereka adalah pribadi-pribadi yang kita kenang karena mereka telah memberikan manfaat bagi sesama," ujarnya pada upacara di perkampungan Betawi, Setu Babakan, pada Senin, 20 Juni 2022.

 

 Baca Juga: Kisah Indiana Jones Labrak Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan


Orang nomer 1 di Jakarta itu mengatakan, perjalanaan kota Jakarta tak bisa dilepaskan dengan peran tokoh Betawi yang jasanya bisa disejajarkan dengan tokoh pahlawan nasional Indonesia. Anies juga menyampaikan, nama-nama tokoh Betawi tersebut ada yang belum pernah tercatat sebelumnya.

 

Nama-nama Jalan di Provinsi DKI Jakarta yang telah resmi diubah Gubenur Anies, diantaranya adalah Jalan Budaya diubah menjadi Jalan Entong Gendut, Jalan Bekasi Timur Raya diubah menjadi Jalan Haji Darip, Jalan Raya Bambu Apus diubah menjadi Jalan Mpok Nori, dan masih 19 jalan lagi.

 

Anies juga menambahkan kalau akan ada tahap 2 untuk pergantian nama jalan di wilayah Jakarta.

 

Bukan Anies Baswedan kalau tidak bisa menimbulkan pro dan kontra dalam mengambil keputusan. Banyak kebijakannya yang menjadikan suasana kurang menyenangkan antara pendukungnya dan mereka yang mengkritisi keputusannya. Kebijakan sebelumnya dari Anies yang memicu silang pendapat, diantaranya adalah Program Oke Oce,  Rumah DP 0 persen, pengecatan atap rumah, Formula E yang menghabiskan biaya sangat besar, dan lain-lain.

 

Yang disesalkan adalah, ketika kebijakan ayahanda Mutiara Annisa itu tidak berjalan sebagaimana mestinya alias gagal, tidak ada rasa menyesal atau evaluasi atas kesalahan dalam mengambil keputusan. Kepiawain dia adalah lepas tangan dan melemparkan bola panas pada pihak lain, seperti kegagalan penanggulangan banjir dan Covid 19 yang diserahkan ke pemerintah pusat.


Baca Juga: Gibran Calon Presiden, Upaya Lepas dari Oligarki

 

Kebijakan mengubah nama jalan yang dilakukan Anies Baswedan tersebut juga menimbulkan riak pendapat, baik di media sosial atau secara nyata.

 

Seorang netizan berkomentar di media sosial yang mendukung keputusan Anies, ‘Mantap benar gubernurku.’ Sedangkan sejarawan JJ Rizal menyatakan niat mengubah nama-nama jalan itu adalah untuk menghormati orang-orang Betawi yang memainkan peranan penting dalam sejarah.

 

Sedang yang yang tidak setuju dengan kebijakan itu berkomentar marah, ‘Mau lengser saja masih menyusahkan warga.’ Selain itu, dampak susulannya, 50 ribu warga harus membuat KTP (kartu tanda penduduk) baru usai Anies mengubah nama jalan.

 

Meski Anies telah menjamin akan menggratiskan segala urusan administrasi yang menyangkut perubahan nama jalan itu, namun apakah dia tidak bisa membayangkan betapa repotnya mondar-mandir ke pihak RT, RW, kantor kelurahan, dan kantor kecamatan untuk mengurus administrasi KTP. Belum lagi yang harus mengubah pasport dan surat-surat lain.

 

Tindakan Urgensi Pemimpin

Keputusan mengubah nama jalan tersebut menjadi perenungan bagi kita semua yang dua tahun lagi akan memilih pemimpin pada Pilpres (pemilihan presiden). Pasti kita semua tahu, Anies Baswedan adalah salah satu calon presiden atau wakil presiden yang saat ini namanya masuk 3 besar calon di beberapa lembaga survey.

  

Pertanyaan penting selanjutnya adalah, apakah seorang pemimpin akan selalu mengambil keputusan hanya untuk memicu pro dan kontra saja? Bukankah keputusan itu lebih baik diambil berdasarkan kepentingan hajat hidup dalam masyarakat?

 

Kebijakan itu diambil sesuai kepentingan atau manfaat dalam masyarakat, bukan berdasarkan suka atau tidak suka dengan pengambil keputusan. Seorang pemimpin yang bijak tentu sangat paham urgensi dari keputusan yang dia ambil. Apakah keputusan itu akan berguna bagi masyarakat atau hanya akan menimbulkan pertentangan yang melelahkan semata.

 

Apabila ada yang berpendapat, keputusan presiden RI saja juga memicu pro dan kontra, kasusnya sangat beda. Keputusan yang diambil presiden berguna bagi rakyat banyak, dan hanya sebagian kecil yang mengkritik atau lebih tepatnya nyinyir.


Baca Juga: Energi Negatif Nyinyir Roy Suryo 


Mereka yang nyinyir tidak bisa memberikan solusi lain. Contohnya untuk pembangunan infrastruktur dari pemerintah, yang nyinyir selalu mempermasalahkan biayanya yang didapat dari hutang pada negara lain, tapi tidak bisa memberi solusi sumber dana alternatif. Dan lucunya atau konyolnya, mereka juga ikut memanfaatkan infrastruktur tersebut.  

 

Untuk kasus kebijakan mengubah nama jalan yang tujuannya untuk menghormati jasa para seniman, bagi yang tidak sependapat bisa menawarkan jalan lain dengan tujuan yang sama, seperti misanya mengumpulkan karya-karya para seniman itu untuk kemudian didokumentasikan atau menuliskan nama dan karya mereka di sebuah gedung pertunjukan.

 

 Bayangkan jika kebijakan yang tidak memikirkan urgensi bagi kehidupan masyarakat (contohnya mengubah nama-nama jalan) itu dibawa ke ranah nasional, betapa pemerintah kita hanya sibuk beretorika untuk kemudian menimbulkan pro dan kontra di masyarakat saja.

 

Jika negara hanya sibuk bersilang pendapat saja, pasti akan tertinggal secara ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia. Selain itu, jurang perpecahan juga akan semakin dalam dan melebar.

 

Semoga masyarakat Indonesia bisa belajar dari rakyat Jakarta tentang cara memilih pemimpin yang benar. [Benhil]


Baca Juga: Potensi Formula E Jadi Ajang Promo 2024

Surga Tropis

Tropics Paradise is a collection of writings and papers presented at, from, and to the tropics. Actually, the tropics is a place that comfortable, warm, and affluent. But the situation goes undermined by the real interests that not coming from the tropics itself, such as politics, ideology, lifestyle, and others. So for that matters, Tropical Paradise wants to restore a beautiful sense of the area.

Previous Post Next Post

Contact Form