Pancasila Relevan Mengatasi Tantangan Zaman.

Pancasila


Indonesia yang telah hidup selama 72 tahun harus terus konsisten Berdiri tegak sebagai sebuah "nation state".

Di tengah berbagai tantangan zaman, Indonesia harus terus survive. Globalisasi yang ditandai dengan modernisasi dan liberalisasi telah memberikan penetrasi pada kesatuan negara bangsa.

Anthony Giddens menyebutkan tiga dampak penetrasi globalisasi, yaitu pertama mengendurnya ikatan negara bangsa (makin banyak wilayah yang ingin merdeka); kedua, penguatan nilai-nilai lokal (etnonasionalisme); ketiga, liberalisasi ekonomi.

Oleh karena itu, bagaimana Indonesia tetap survive menghadapi penetrasi tersebut? Dalam kaitan itu, menyambut Hari Kesaktian Pancasila, tulisan ini dibuat agar Kesaktian Pancasila tidak hanya diskursus dan renungan suci, tetapi harus menjadi motivasi agar nilai-nilai Pancasila mampu dinternalisasikan dan menembus jiwa-jiwa generasi muda pewaris masa depan Indonesia raya.

Hancurnya Timur Tengah melalui Arab spring (dimulai Tunisia terhenti di Suriah) telah mengajarkan banyak pelajaran bagi Indonesia bahwa suatu wilayah dapat dengan mudahnya hancur (tidak survive lagi) karena berbagai konflik dan kepentingan yang terjadi.

Bangkitnya Turki sebagai kekuatan baru juga menumbuhkan gejala khilafah islamiah dan pilihan akan Islam sebagai ideologi negara. Di sisi lain munculnya Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia juga mengisyaratkan bahwa komunis tidak selamanya buruk.

Tentunya Indonesia harus bersikap. Sikap ini jelas digambarkan oleh pimpinan nasional bahwa Pancasila adalah yang terbaik bagi Idonesia, tidak khilafah dan tidak komunis.

Indonesia dapat survive jika memegang teguh dan menjalankan empat konsensus dasar bernegara. Pancasila adalah salah satu konsensus dasar bernegara di samping UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Pancasila adalah sebuah ideologi terbaik bagi Indonesia yang mempunyai wajah plural dan agamis.

Dalam buku Induk Nilai-Nilai Kebangsaan, Lemhannas RI Tahun 2016 menurunkan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung Pancasila adalah nilai religiusitas, nilai kekeluargaan, nilai keselarasan, nilai kerakyatan, dan keadilan.

Hal ini menjadi paradoks karena lima nilai turunan dari Pancasila yang begitu baik ternyata sering kali sulit dijalankan. Pada tahun 2016 Wahid foundation mengeluarkan survei yang menyatakan tingginya angka intoleransi antarumat beragama yang justru membuat retaknya persaudaraan antarumat beragama.

Jangan sekadar dipasang apakah Pancasila masih relevan dijadikan pedoman hidup berbangsa dan bernegara? Era Globalisasi tidak hanya membuat perubahan pola interaksi dan komunikasi namun juga menciptakan masyarakat dunia maya (cyber social community) yang telah membuat tantangan zaman makin kompleks.

Jika Pancasila hanya dipasang di ruang-ruang kelas dan menjadi simbol kenegaraan, tidak akan bermakna apa-apa.

Saat ini generasi terbagi menjadi enam, yaitu generasi "silent", "Baby Boomers", generasi x, y, z, dan milenial. Masing-masing generasi mempunyai cara pandang yang berbeda.

Tentunya tanggung jawab moral bagi generasi yang memahami Pancasila untuk mentransfer nilai-nilai fundamental Pancasila kepada generasi penerus (utamanya z dan milenial).

Generasi ini lebih banyak hidup di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Gejala "bedroom syndrom" (masuk kamar dan menjelajah dunia maya) seolah-olah berpisah dari kehidupan nyata dan orang tua.

Oleh karena itu, tantangan terbesar Pancasila adalah menginternalisasi nilai-nilainya kepada generasi muda (z dan milenial) dengan konteks kekinian.

Jika hal itu dilakukan, konsensus dasar bernegara, khususnya Pancasila, akan relevan mengatasi tantangan zaman.

Kecerdasan kebangsaan salah satu tawaran penulis adalah "civic intelligent" (kecerdasan kebangsaan).

Konsep kecerdasan kebangsaan yang ditawarkan penulis telah dipresentasikan di beberapa tempat sebagai bagian dari pendidikan karakter dan pendidikan bela negara.

Ironis ketika melihat generasi muda didorong kecerdasan kognitifnya ajaran matematika dan "science" secara terus-menerus di luar jam sekolah dan kursus. Namun, kecerdasan kebangsaannya tidak diisi.

"Civic intelligent" adalah pendidikan karakter, khusus untuk mengembangkan kecerdasan kebangsaan.

Salah satu langkah "civic intelligent" adalah dengan internalisasi nilai-nilai Pancasila.

Pertama, dengan membuka kesempatan agar peserta didik melibatkan diri dalam kerja sukarelawan (community service). Kompetensinya diarahkan untuk mempertajam kepedulian sosial politik.

Kedua, pendidikan Pancasila tidak hanya instruksional di kelas, tetapi melibatkan aktivitas "live-in" di keluarga-keluarga miskin. Dengan dmikian, peserta didik tidak terasing dari realitas masyarakat di sekitarnya yang berpendapatan rendah.

Ketiga, materi pendidikan diarahkan ke pelatihan kepemimpinan dan "team work" untuk berlatih negosiasi, "conflict resolution", pelatihan pencegahan risiko, serta pendidikan atau pelatihan multikultural.

Keempat, melakukan pendidikan bela negara dengan basis teknologi informasi (TI) dan pertahanan terhadap "cyber crime" karena pada era "proxy war" ini serangan terhadap negara dan entitasnya sering kali muncul di area dunia maya.

Terlebih lagi, generasi muda Indonesia menjadi netizen (warga siber atau dunia maya) terbanyak saat ini.

Diharapkan generasi muda Indonesia yang telah dibekali "civic intelligent" dengan sendirinya akan lebih cerdas menyikapi segala pemberitaan hoaks (hoax) dan bijaksana dalam menjelajahi dunia maya.

Kelima, dengan diperluasnya diskursus mengenai Pancasila dan penghargaan kepada berbagai insan di segala bidang yang mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.

Jadi, lima upaya tersebut merupakan langkah awal internalisasi nilai-nilai Pancasila.

Jika motivasi diartikan sebagai pendorong tindakan orang-perorangan, ideologi adalah pendorong tindakan kolektif sehingga ideologi Pancasila harus menjadi motor "revolusi mental", yakni perubahan mendasar pola pikir masyarakat dan pejabat publik di dalam kehidupan berbangsa.

Jadi, sasaran "revolusi mental" adalah perubahan radikal etos bangsa yang bernilai Pancasila.

Stepi Anriani M. Si
Penulis adalah kandidat doktor Kebijakan Publik Universitas Indonesia, peneliti pada Lembaga Penelitian dan Kajian Masalah Keamanan Nasional Democracy-Integrity and Peace (DIP) Centre, dan dosen Sekolah Manajemen Analisis Intelijen (SMAI) (Ben/An).
Previous Post Next Post

Contact Form