Maleo si Paruh Jingga dari Sulawesi

 

Burung Maleo

Di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, terdapat 328 spesies burung dengan 230 spesies di antara tidak bermigrasi dan 97 spesies endemis, salah satunya adalah burung maleo.

Maleo (Macrocephalon maleo) adalah satwa endemik Sulawesi dan tidak akan ditemukan di tempat lain di dunia.

Burung ini hanya ada di Pulau Sulawesi dan populasinya makin terancam karena maraknya pembukaan lahan di habitatnya berupa kawasan pantai berpasir panas atau pegunungan dengan sumber air panas atau kondisi geotermal tertentu.

Baca juga: Murai Batu Termahal di Indonesia, Tembus Rp 1 Miliar

Pencurian telur maleo juga mengancam kelestarian burung itu. Seekor maleo memang hanya bertelur sebutir dalam satu musim.

Belum lagi aksi si pencuri alami seperti babi hutan dan biawak. Maleo memang tidak mengerami telurnya. Hal itu karena setelah bertelur ia akan mengubur telurnya dengan menggali lubang, sampai anak burung itu menetas sendiri.

Agar dapat bertahan dan menetas, telur harus dikubur di tempat hangat bersuhu 32-35 derajat Celcius seperti di pasir pantai atau kawasan yang dekat sumber air panas.

Dalam buku Konservasi Maleo di Sulawesi dijelaskan bahwa asal usul burung khas kawasan Wallacea ini masih belum jelas. Ada dua teori menyebutkan bahwa pertama nenek moyang maleo berasal dari Australia. Kemudian kedua disebutkan bahwa moyang maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di Australia.

Namun persamaan kedua teori itu adalah moyang maleo telah terisolasi di Australia untuk waktu yang lama dan telah berevolusi sebagai burung yang tidak lagi mengerami sendiri telur-telurnya.

Maleo kemudian menyebar ke Papua Nugini dan pulau-pulau di sekitar Indonesia timur, termasuk di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Baca juga: Dara Mahkota, Burung Terindah di Dunia dari Tanah Papua

Maleo berukuran sedang dengan panjang sekitar 55 sentimeter (cm) dan memiliki bulu warna hitam. Kulit di sekitar mata berwarna kuning dengan iris mata merah kecokelatan dan kaki abu-abu.

Maleo mempunyai paruh jingga dan bulu sisi bawah merah muda keputihan. Di atas kepala terdapat semacam tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Ukuran betina lebih kecil dari jantan dengan warna lebih gelap.

Maleo hidup dan berkembang biak di alam liar termasuk beberapa hutan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), termasuk Desa Tuva dan Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulteng. Maleo juga dapat dijumpai di Desa Kadidia dan Kamarora, Kecamatan Nokilalaki, Kabupaten Sigi.

Dikutip dari Indonesia.go.id, di antara beberapa titik keberadaan maleo, baru di Desa Saluki-lah yang sudah dibangun sistem penangkaran alamiah oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL).

TNLL merupakan salah satu warisan dunia yang ditetapkan UNESCO menjadi Cagar Biosfer Dunia pada 1977. Taman Nasional ini kerap dikunjungi turis domestik dan mancanegara.

Kini salah satu peran penting TNLL adalah terus berupaya melestarikannya dengan membangun sistem penangkaran sebagai solusi meningkatkan populasi meleo dari kepunahan.

Lokasi penangkaran terletak di hutan dalam kawasan TNLL dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki atau naik sepeda motor menyusuri kebun kakao dan sungai.

Kondisi jalan sangat sulit untuk kendaraan bermotor sehingga perjalanan berkendara harus berakhir di salah satu kebun milik masyarakat. 

Selanjutnya harus berjalan kaki sekitar dua kilometer (km) melintasi jalan setapak di pinggiran sungai. [Benhil Online]

Previous Post Next Post

Contact Form