Debat Capres Berbahasa Inggris Cenderung Melanggar Undang-Undang


Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Kampanye Pemilihan Umum tidak mengatur debat kontestan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI menggunakan bahasa Inggris.

PKPU Nomor 28 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PKPU No.23/2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum juga tidak secara gamblang mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia dalam debat pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Aturan yang ada lema "bahasa" termaktub dalam Pasal 21 PKPU No. 23/2018. Materi kampanye meliputi visi, misi, program, dan/atau citra diri pasangan calon untuk kampanye Pilpres disampaikan dengan cara sopan, yaitu menggunakan "bahasa" atau kalimat yang santun dan pantas ditampilkan kepada umum.

Selain itu, penyampaiannya dengan cara tertib, yaitu tidak mengganggu kepentingan umum; mendidik, yaitu memberikan informasi yang bermanfaat dan mencerdaskan pemilih; bijak dan beradab, yaitu tidak menyerang pribadi, kelompok, golongan, atau pasangan calon lain; dan tidak bersifat provokatif.

Pasal 20 Huruf b menyebutkan bahwa materi kampanye meliputi visi, misi, program, dan/atau citra diri pasangan calon untuk kampanye Pilpres harus menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa.

Frasa "jati diri bangsa" ini temaktub pula di dalam Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai "jati diri bangsa", kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Meski PKPU belum mengatur secara eksplisit penggunaan bahasa dalam debat capres, wacana debat capres berbahasa Inggris mengingatkan kembali akan ikrar Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. (D.Dj. Kliwantoro)

Salah satu dari tiga ikrar Sumpah Pemuda: "Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia." Seyogianya janji tersebut selalu diingat oleh anak bangsa, termasuk pecentus ide penggunaan bahasa Inggris dalam debat peserta Pilpres 2019.

Bahkan, di dalam UU No. 24/2009, Pasal 25 Ayat (1), disebutkan bahwa bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda.

Ditegaskan pula bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi, dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Lepas dari pro dan kontra, munculnya usulan debat capres berbahasa Inggris, Arab, atau bahasa asing lainnya telah mengusik rasa kebangsaan sebagian pihak.

Tidak pelak lagi, ada di antara mereka beranggapan gagasan itu melanggar UU No. 24/2009. Namun, sayangnya di dalam undang-undang ini tidak ada sanksi bagi mereka yang melanggar meski ada kata "wajib" di sejumlah pasal.

Dalam Pasal 28, misalnya, disebutkan bahasa Indonesia "wajib" digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.

Begitu pula, dalam Pasal 32 Ayat (1) menyebutkan bahwa bahasa Indonesia "wajib" digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.

Di dalam Pasal 36 juga terdapat lema "wajib". Disebutkan bahwa bahasa Indonesia "wajib" digunakan dalam nama geografi di Indonesia.

Bahasa Indonesia "wajib" digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, ada kekecualian, apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing.

Bahasa Internasional Usulan debat berbahasa Inggris ini setidaknya mendorong sejumlah warga membuka kembali undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109 pada tanggal 9 Juli 2009.

Dengan membuka kembali UU No. 24/2009, setidaknya warga negara Indonesia tahu akan hak dan kewajiban memelihara, menjaga, dan menggunakan bahasa Indonesia untuk kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara (vide Pasal 65).

Mumpung masih menjadi wacana publik, semua pihak perlu membaca kembali Pasal 44 yang mengamanatkan kepada Pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.

Upaya mempercepat mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua bagi warga negara lain agaknya perlu dukungan semua pihak, termasuk media massa. Misalnya, dengan mematuhi kaidah bahasa Indonesia walaupun tidak ada sanksi bagi yang melanggar aturan tersebut. Debat capres berbahasa Inggris cenderung melawan undang-undang.

Tidak hanya tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca, tetapi juga menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang ditetapkan di dalam kamus.

Begitu pula, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) yang akan menyelenggarakan debat capres, sepatutnya ikut menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Jika regulasi yang ada belum secara tegas menyatakan bahwa debat capres menggunakan bahasa Indonesia, lembaga penyelenggara pemilu ini memungkinkan merevisi kembali PKPU tentang Kampanye Pemilihan Umum. Apalagi, masa kampanye Pilpres mulai 23 September 2018 sampai dengan 13 April 2019.

Apakah KPU bakal mengeluarkan PKPU tentang Perubahan Kedua atas PKPU No.23/2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum setelah penetapan peserta Pilpres pada tanggal 20 September mendatang atau tidak? Lembaga independen inilah yang akan memutuskannya. (D.Dj. Kliwantoro)
Previous Post Next Post

Contact Form