Korupsi e-KTP Bagai Cicak VS Belut

Setya Novanto Korupsi

Jakarta, 4/10 (Benhil) - KPK pada 17 Juli 2017 menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.

Akibat tindakan tersebut, Setya Novanto atau Setnov diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket KTP-Elektronik (e-KTP) di kementerian tersebut.

Atas perbuatannya Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Meski tersangka berhasil memenangkan praperadilan atas Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 September lalu, akan tetapi upaya KPK untuk menahan ruang gerak pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar tersebut akan terus berlanjut.

Sikap tersebut dibuktikan KPK yang telah resmi mengajukan perpanjangan permintaan cegah dan penangkalan (cekal) terhadap Setnov dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi KTP-Elektronik.

Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Agung Sampurno menyampaikan pihaknya menerima surat cegah dari KPK yang telah ditandatangani oleh Ketua KPK Agus Rahardjo pada 2 Oktober.

Secara garis besar surat tersebut berisi permintaan KPK agar mencegah dan melakukan pelarangan bepergian ke luar negeri terhadap Setnov terkait kasus mega korupsi KTP-Elektronik.

Surat cegah itu berlaku hingga enam bulan ke depan atau akan jatuh tempo pada bulan April 2018, sehingga menggugurkan surat pertama dan digantikan surat terbaru, ujar Agung menambahkan.

KPK sebelumnya telah menyampaikan permintaan cegah untuk Setya Novanto yaitu pada 10 April 2017 dan akan habis masa berlakunya pada 10 Oktober 2017. Ia dicegah dalam kapasitasnya sebaga saksi proyek KTP-E.

Terkait dengan hal tersebut, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan bahwa pihaknya memang sudah melayangkan surat perpanjangan cekal terhadap Setnov.

Ia menjelaskan, perpanjangan itu dilakukan karena KPK merasa masih banyak membutuhkan informasi dari Setnov sehingga memutuskan memperpanjang pencekalan ke luar negeri terhadap Ketua DPR RI itu.

Artikel Terkait Tentang Kasus Korupsi Setya Novanto:
Sementara terkait Setnov yang sudah keluar dari Rumah Sakit setelah menjalani perawatan selama dua minggu, Syarif mengharapkan yang bersangkutan bisa menghadiri panggilan jika KPK membutuhkan keterangannya.

Dalam kasus ini KPK sudah menetapkan enam tersangka dalam kasus KTP-E, yang terbaru adalah Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo yang diumumkan pada 27 September 2017.

Anang Sugiana Sudihardjo diduga terlibat bersama-sama dengan Setya Novanto, Andi Agusitnus alias Andi Narogong, Irman, serta Sugiharto dan kawan-kawan.

Ia diduga berperan dalam penyerahan uang kepada Setnov dan sejumlah anggota DPR melalui Andi Agustinus alias Andi Narogong terkait dengan proyek KTP-E.

KPK menduga Anang membantu penyediaan uang tambahan untuk bantuan hukum Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp2 miliar dan kebutuhan lainnya terkait dengan proses proyek KTP-E, serta menyiapkan uang sejumlah 500 ribu dollar AS dan Rp1 miliar untuk diserahkan kepada anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani.

Cacat Hukum Menangnya Setnov dalam praperadilan di PN Jakarta Selatan juga menuai kontroversi dan pertanyaan, terutama atas keputusan hakim yang terlibat dalam proses pengadilan.

Peneliti Anti Corruption Committee (ACC) Wiwin Suwandi menyatakan bahwa pertimbangan Hakim Tunggal Cepi Iskandar dalam putusan praperadilan Ketua DPR RI Setya Novanto merupakan tindakan yang cacat hukum.

Melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Wiwin menyatakan hakim dalam pertimbangannya menilai alat bukti penetapan Setnov sebagai tersangka diambil dari pengembangan kasus Irman dan Sugiharto.

Ia menilai hakim lupa bahwa kasus Irman dan Sugiharto serta Setya Novanto merupakan satu kesatuan perkara korupsi KTP-E, sehingga memiliki benang merah atau keterkaitan satu sama lainnya.

Penggunaan alat bukti terkait Setnov terhadap tersangka lain dalam satu perkara yang sama adalah hal yang lazim.

Hal ini akan bermasalah kalau alat bukti tersebut diambil dari kasus lain yang tidak memiliki benang merah dalam kasus aquo, ucap Wiwin.

Selanjutnya, penetapan tersangka dalam proses penyidikan bukan soal jarak waktu penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan penetapan tersangka, tetapi kecukupan alat bukti sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ketika KPK menilai alat bukti sudah cukup dalam menaikkan status Setnov sebagai tersangka, berarti KPK berpegang pada alat bukti, tutur Wiwin menjelaskan.

Oleh karena itu masalah jarak waktu tidak menjadi persoalan karena prosedur penyelidikan dan penyidikannnya sudah dipenuhi termasuk menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Lebih lanjut, Komisi Yudisial juga perlu melakukan pemeriksaan tidak hanya kepada hakim Cepi Iskandar yang menangani praperadilan Setya Novanto, namun juga ketua pengadilan.

Pengamat hukum Universitas Bung Karno Azmi Syahputra menjelaskan, perlunya pemeriksaan terhadap ketua pengadilan karena posisi tersebut merupakan pintu gerbang distribusi penunjukan hakim pemeriksa perkara praperadilan Setnov.

Ada dugaan bahwa hakim Cepi Iskandar memang membangun argumen pertimbangan hukum yang mendalilkan untuk mengabulkan permohonan praperadilan, atau hakim tersebut bekerja karena ada permintaan khusus atau "titipan" perkara dari ketua pengadilan.

Karena, kata Azmi, dalam praktiknya kebanyakan hakim akan sulit menolak jika ada permintaan dari ketua pengadilan dan bisa jadi hakim Cecep (Cepi, red) merupakan tipe hakim yang tidak bisa menolak permohonan pimpinan.

Modus kelicikan pengkondisian hakim yang diciptakan atau "disetting" ini juga harus diungkap sebagai wujud reformasi peradilan, pungkas Azmi.

Dalam praktiknya jika personel hakim sudah dikondisikan sejak awal melalui ketua pengadilan, maka yang terjadi ada tawaran dalam bentuk penerimaan uang atau janji menerima atau ada kepentingan sesuatu yang akan diperoleh.

Azmi menambahkan jika hal itu dapat dibuktikan oleh KY atau pengawal internal MA, maka sejak awal sudah ada tindakan yang disengaja dengan maksud oleh ketua pengadilan untuk mengkondisikan kasus praperadilan itu.

Maka dari itu, subjek-subjek yang terkait dengan putusan praperadilan ini harus diusut dengan teliti dan tuntas, tandasnya.

Penetapan Kembali Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono berpendapat KPK masih bisa menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek KTP Elektronik itu.

Ia menjelaskan, putusan praperadilan tersebut tidak menggugurkan kewenangan KPK untuk kembali menetapkan Setnov menjadi tersangka lagi.

Penetapan tersangka kembali tersebut telah diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA No.4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.

Sepanjang KPK yakin dan memiliki dua alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No.4 Tahun 2016, ujar Edi melanjutkan, maka Setnov masih bisa ditetapkan menjadi tersangka.

Pendapat serupa juga disampaikan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting, yang menilai peluang KPK untuk menetapkan Setya Novanto kembali sebagai tersangka masih sangat terbuka.

Miko berkesimpulan, sepanjang masih memiliki paling sedikit dua alat bukti yang syah maka KPK masih tetap dan dapat menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.

Hal itu, kata dia, dikarenakan putusan praperadilan Setnov itu menyangkut aspek formil syah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap dirinya, bukan aspek substansi apakah dia bersalah atau tidak bersalah.

Mahkamah Agung melalui Kepala Biro Hukum dan Humas Abdullah secara implisit juga menyampaikan kemampuan KPK untuk kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka.

Abdullah mengatakan, meski Setnov memenangkan praperadilan namun putusannya tetap tidak menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan.

Esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka, dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri, kata Abdullah melalui pesan singkat yang diterima Antara di Jakarta.

Hal itu disampaikan oleh Abdullah menanggapi kontroversi putusan praperadilan yang diajukan Setnov atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP oleh KPK.

Dalam Pasal 2 Ayat (3) Perma Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.

Kalau Penyidik telah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang syah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, yang bersangkutan bisa dijadikan tersangka lagi, kata Abdullah menerangkan perkara yang pengusutannya licin berbelit bagai "cicak versus belut" tersebut. (Ben/An/RRB)
Previous Post Next Post

Contact Form