Layangan Warisan Tradisi Bali Menjadi Atraksi Wisata

Layangan Bali

Anak-anak seusia sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) dengan senang dan bangganya mengendalikan layangan untuk bisa "menari-menari" di ketinggian bersaing dengan layangan rekannya di tengah hamparan lahan sawah yang baru habis panen.

Hal itu merupakan tradisi yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun, khususnya anak-anak di daerah perdesaan, yang dilakoninya hingga sekarang.

Permainan layang-layang untuk menyalurkan kesenangan anak-anak muda dan kesinambungan tradisi dalam beberapa tahun belakangan ini dikemas dalam bentuk festival yang memberikan fungsi ganda, yakni sebagai atraksi untuk menambah daya tarik bagi wisatawan mancanegara.

Pemerintah Kabupaten Tabanan, sebagai daerah gudang beras yang memiliki hamparan lahan pertanian paling luas di Bali, menggelar "Tabanan Kites Festival" yang melibatkan 1.500 peserta.

"Kegiatan yang digelar di Subak Gadon, kawasan wisata Tanah Lot, berlangsung selama dua hari, 9-10 September 2017 memperebutkan hadiah utama sebesar Rp.100 juta," tutur Ketua Panitia kegiatan tersebut I Made Edi Wirawan.

Ribuan peserta yang datang dari sejumlah kabupaten/kota di Bali menaikkan berbagai jenis layangan, termasuk layangan milik Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti, yang mengudara dengan baik. 

Langit Tabanan dengan cuaca yang cerah itu dihiasi dengan ribuan layangan yang "menari-nari" di udara sekaligus sebagai atraksi wisata, karena objek wisata Tanah Lot itu setiap hari dikunjungi ribuan wisatawan dalam dan luar negeri.

I Made Edi Wirawan yang juga anggota DPRD Kabupaten Tabanan itu ingin menjadikan Festival Layang-Layang itu bisa dilaksanakan secara berkesinambungan setiap tahun, karena dinilai mampu memberikan banyak manfaat.

Festival Layang-Layang itu mampu memberikan ruang kepada anak-anak muda untuk menciptakan inovasi dan kreativitas ekonomi kreatif, mempromosikan pariwisata dan memberikan hiburan kepada masyarakat tani seusai panen di sawah.

Kegiatan yang baru pertama kali digelar dalam skala besar di Tabanan itu memperebutkan piala bergilir Bupati Tabanan untuk kategori layangan Pecukan.

"Layangan sudah menjadi tradisi turun menurun dari nenek moyang kami. Layangan Pecukan merupakan khas Kabupaten Tabanan yang patut dilestarikan," ujar I Made Edi Wirawan.

Sangat Antusias Wakil Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya yang ikut menaikkan layangan pecukatan berwarna dasar putih kombinasi warna merah dan hitam memberikan apresiasi terhadap kegiatan Festival Layang-Layang tersebut.

Masyarakat di Kabupaten Tabanan, mulai anak-anak, dewasa dan orang tua menaruh perhatian yang antusias terhadap pelaksanaan lomba layang-layang yang selama ini digelar di Pantai Padangbalak, Sanur, Kota Denpasar.

Peserta dari Kabupaten Tabanan selalu ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut dan ruang festival layang-layang diharapkan bisa dilakukan secara berkesinambungan setiap tahun.

Hal itu didasari tradisi Layang-layang sudah diwarisi secara turun temurun dari leluhur. Kabupaten Tabanan dari zaman dulu merupakan pelopor memainkan layang-layang. Setelah selesai memanen padi di sawah, petani menghibur diri dengan angin yang kencang memainkan layang-layang.

Untuk itu Tabanan sebagai daerah "lumbung beras" di Bali, agar mampu melestarikan permainan itu agar tidak punah oleh zaman.

di Subak Gadon, tempat festival layang-layang tersebut jaraknya hanya beberapa kilometer dari pura kuno Tanah Lot yang lokasinya "bertengger" di atas batu karang Pantai Beraban, Bali selatan di Samudera Indonesia.

Tempat suci umat Hindu, sekaligus objek wisata andalan itu, selama ini menyimpan misteri dan keunikan yang membuat pelancong seolah "wajib" mengunjunginya.

Festival ke Uma Sementara Sanggar Buratwangi, Sanggar Wintang Rare, dan Selakunda Foundation serta masyarakat Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, secara swadaya menggelar Festival Ke Uma (sawah) yang menampilkan atraksi unik dan menarik, termasuk memainkan layangan.

Kegiatan yang baru pertama kali digelar untuk mengajak anak-anak usia SD dan SMP bersenang-senang lewat permainan tradisional di sawah.

Menurut ketua panitia kegiatan tersebut Putu Edi Novalia Artha memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anak, sekaligus kondisi sawah untuk menghasilkan beras sebagai kebutuhan pokok sehari-hari yang kini tidak banyak diketahui oleh anak-anak.

Kegiatan itu diharapkan dapat dilakukan berkesinambungan untuk mengisi liburan panjang anak-anak sekolah pada pertengahan tahun. Seluruh kegiatan selama dua hari itu digelar di tengah sawah yang sudah dipersiapkan dan ditata sedemikian rupa.

"Festival ke Uma" yang pelaksanaannya dinilai sukses itu mengangkat suasana tempo dulu, yakni anak-anak diajak bermain dengan memanfaatkan alam dan lingkungan sawah sekitarnya. Alam itu sesunguhnya sangat bersahabat yang menyediakan berbagai alat dan sarana untuk bermain, tinggal merangsang kreativitas mereka saja. Kegiatan sejenis juga pernah dilakukan saat Festival Balac lombakan 528 layangan.

Subak Mole di Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri lingkungannya masih dalam kondisi asri dan lestari yang bersebelahan dengan Candi Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Margarana, tempat gugurnya Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai, 25 km arah barat daya Kota Denpasar.

Sawah dan aktivitas anak-anak dalam beberapa tahun belakangan ini seakan lenyap ditelan zaman. Sawah mulai berkurang akibat beralih fungsi dam kehilangan sumber air.

Aktivitas anak-anak di sawah juga tidak tampak lagi. Anak-anak generasi sekarang tidak pernah melakukan permainan itu. Oleh sebab itu melalui Festival ke Ume memasyarakatkan kembali aktivitas anak-anak yang polos, jujur, tanggung jawab dan menjunjung nilai-nilai kebersamaan itu lewat festival.

Selain itu menciptakan kreativitas anak-anak dengan menyediakan ruang untuk melakukan dunianya yang seluas-luasnya, sekaligus melestariakan seni budaya dengan mengangkat kembali berbagai jenis permainan, khususnya terkait dengan sawah.

Kegiatan festival diawali dengan memainkan layang-layang menyusul bermain bersama-sama. Anak yang sudah bisa akan mengajari temannya yang belum mengerti, sehingga sosialisasi antara mereka dapat menciptakan kebersamaan. (Ben/An)

Ika Sutika
Previous Post Next Post

Contact Form