PKI Sejarah Kebencian Politik Yang Diwariskan


PKI

Jakarta, 20/9 (Benhil) - Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah menjadi semacam gaung trauma yang siapapun nyaris tak ingin mendengarnya lagi di Indonesia.

Rasa sakitnya pengkhiatan, kekejaman, hingga anyir darah kebengisan komunisme seperti dilekatkan sangat erat pada sejarah kelamnya partai itu kepada masyarakat di Tanah Air.

Suatu contoh yang paling mengemuka dan hangat, yaitu sejarah peristiwa malam G30S/PKI.

Menurut Penggagas dan Pendiri Gerakan Damai Nusantara Jappy M. Pelokilla, selama puluhan tahun rakyat Indonesia harus menerima sejarah yang ditulis berdasar tujuan yang hendak diraih.

Akibatnya, tak ada tempat untuk mereka yang menjadi korban atau dikorbankan, dituding, dan dituduh PKI. Mereka bahkan tak pernah disebut di dalam sejarah.

Kisah serta derita hidup dan kehidupan mereka menjadi tragedi dan stigma, aib yang tetap membekas, bahkan sebagai luka-luka batin yang tak tersembuhkan.

Oleh karena itu, agar lepas dari beban berat tersebut, mereka mencoba untuk mengungkapkan kebenaran sejarah 1965/1966.

Mereka sebagai anak-cucu dari yang dituduh dan dituding PKI, ingin mendapatkan kejelasan dan kepastian.

"Jika ya, maka dengan lapang dada, mereka akan menerimanya. Namun, jika tidak, maka harus ada pemulihan diri secara menyeluruh," kata Jappy.

Sayangnya memang kebencian itu laksana diwariskan secara turun-temurun.

Bahkan pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini harus rela menanggung beban sejarah komunis sebagai sebuah dosa yang seperti dituntut untuk dipertanggungjawabkan.

Jangan terulang padahal Presiden Joko Widodo sendiri telah dengan tegas menyatakan sikapnya bahwa pemerintah akan selalu memegang teguh Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 dengan tidak memberi ruang kepada PKI.

Hal itu berarti bahwa diri dan pemerintahannya telah berkomitmen untuk melarang PKI tumbuh di Bumi Pertiwi.

Sebagai gantinya Presiden mengingatkan semua lapisan masyarakat untuk memegang teguh Pancasila serta menjaga persatuan dan kesatuan.

Sebab, ia tak ingin jika sampai sejarah kelam kekejaman PKI itu terulang lagi. Jokowi tidak ingin memberi ruang kepada ideologi-ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila. Artikel terkait: Pancasila Relevan Mengatasi Tantangan Jaman

Presiden bahkan menyempatkan diri untuk nonton bareng Film G30S/PKI sebagai jalan tengah sikapnya merespons perkembangan dinamika politik yang menyudutkannya dengan isu komunisme. Artikel menarik: Film G30S/PKI Alat Propaganda Orde Baru.

Ia juga membangun wacana untuk membuat film tersebut dalam versi baru yang lebih holistik, tanpa meninggalkan fakta sejarah, dengan melepaskan kepentingan penguasa ketika itu.

Memang ada begitu banyak pihak yang mencoba memanfaatkan sebuah kebencian politik yang diwariskan itu untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

Namun, Jokowi menganggap bahwa ada begitu banyak hal yang lebih penting ketimbang berkutat dengan polemik isu komunisme yang tak berkesudahan.

Presiden lebih memilih untuk mengajak seluruh komponen bangsa bersinergi membangun bangsa.

Bersamaan dengan itu, ia memerintahkan kepada TNI, Polri, serta seluruh lembaga-lembaga pemerintah untuk bersama-sama bersinergi membangun bangsa, membuat rakyat tenang dan tentram, dan bersatu padu menghadapi persaingan kompetisi global.

Rekonsiliasi Profetik Mengenai PKI, ada tulisan Soe Hok Gie yang relevan mengambil kata-kata dari Mayjend. T.B. Simatupang yang diambil dari Laporan dari Banaran halaman 98, sebagai berikut: "Saya sendiri yakin bahwa anak-anak biasa, yakni prajurit-prajurit dan pemuda-pemuda yang telah gugur pada kedua pihak selama peristiwa Madiun ini umumnya tidak tahu-menahu tentang persoalan-persoalan yang berada di belakang tragedi nasional ini. Saya yakin bahwa doa yang terakhir dari anak-anak itu semua adalah untuk kebahagiaan dan kebesaran tanah air yang satu juga".

Maka komunisme pun menyimpan aroma tanda tanya sekaligus luka yang amat dalam di benak masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, salah satu Ketua Generasi Muda Mathla'ul Anwar Destika Cahyana mengatakan saat ini Indonesia membutuhkan tokoh-tokoh yang dapat mendorong terwujudnya rekonsiliasi profetik ala para nabi.

Mengacu pada sejarah peran Nabi Muhammad pada penaklukan Mekkah dan Nabi Yusuf pada saat bertemu saudara-saudaranya.

Ketika itu, Muhammad mampu memaafkan Abu Sufyan dan istrinya Hindun yang telah merobek-robek jantung pamannya Hamzah. Bahkan, Muhammad mengangkat anak Abu Sufyan, yaitu Muawiyah, sebagai anak angkat dan memperistri anak Abu Sufyan.

Begitu juga Yusuf yang mampu memaafkan saudara-saudaranya yang membenamkannya ke dasar sumur tua. Yusuf bahkan memberi kedudukan terhormat pada para saudaranya.

Menurut Destika, sebetulnya kini banyak kiai NU telah banyak meneladani jejak Muhammad dan Yusuf. Mereka bahkan banyak mengambil anak-anak PKI sebagai murid dan anak angkat.

Hal itu tidak lain agar mata rantai dosa politik yang diwariskan tersebut terpotong dan tak lagi menjadi bahan polemik yang mengancam integritas bangsa. (Ben/An)
Previous Post Next Post

Contact Form