Pilpres (Pemilihan presiden) 2024 masih dua tahun setengah, namun suasana pencalonan kursi menuju Indonesia 1 sudah semakin memanas. Nyatanya, antusiasme publik terhadap para kandidat masih rendah.
Saat
ini, tiga nama yang elektabilitasnya paling tinggi adalah Gubernur Jawa Tengah,
Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan sekaligus peserta pilpres 3 kali, Prabowo
Subianto, dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Dari
ketiganya, Ganjar masih diurutan paling atas. Survey terakhir yang dilakukan
Charta Politika dan IPI pada bulan April, orang nomer satu di Jawa Tengah itu memperoleh
sekitar 26 persen, sedangkan Prabowo 23 persen, dan Anies 21 persen.
Uniknya,
Ganjar belum mempunyai kendaraan politik untuk maju Pilpres 2024. Prabowo sudah
aman dengan partainya sendiri, Gerindra yang telah memenuhi ambang batas.
Sedangkan Anies yang sedari awal sudah dirangkul oleh Partai Nasdem, tinggal
menggandeng satu partai lagi (kemungkinan besar PKS).
Hingga
kini, sebagai kader PDIP yang setia, Ganjar sendiri belum tertarik untuk membelot
mencari dukungan pada partai lain yang punya daya tawar, seperti Golkar atau
beberapa partai koalisi. Dengan modal elektabilitas tinggi, sebenarnya dia bisa
melakukan hal itu.
Justru
dari situ, publik sedang menguji sampai di mana bukti kesetiaan suami Siti
Atiqoh Supriyanti tersebut pada partai yang membesarkannya itu. Jika dia
terlalu agresif, tentu akan menjadi nilai buruk di mata masyarakat yang
memiliki hak pilih. Jika terlalu lamban, orang tentu mulai ragu dengan niat dan
kesungguhan dia untuk maju Pilpres.
Masyarakat
paham, PDIP sudah memiliki calon sendiri, yakni Puan Maharani yang merupakan
putri dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Namun banyak juga yang
paham kalau Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI tersebut belum begitu moncer
untuk menuju RI 1.
Alhasil,
Ganjar yang paling difavoritkan jadi RI 1 justru masih menahan diri untuk
memproklamirkan sebagai calon presiden, sedangkan Anies yang dikenal politisi
kutu loncat (memilih partai berbeda-beda, yang penting dapat kesempatan maju)
malah sudah berani menyebut calon presiden 2024, meski cuma bermodal kaos yang
dibagikan bagi para pemudik gratis Lebaran 2022.
Berbeda
pada sebelum 2014, saat dukungan publik sangat kuat pada Jokowi (Joko Widodo)
sehingga Megawati bersedia memberi jalan agar Jokowi maju Pilpres 2014 lewat
PDIP, saat ini dukungan publik pada Ganjar cukup lemah. Mungkin masyarakat
sudah capek dengan kontestasi politik 2014 dan 2019 yang panas dan
mengakibatkan polarisasi.
Polarisasi
itu masih terjadi hingga saat ini dan belum ada tanda-tanda mereda, meski
capres yang kalah di Pilpres 2019 sudah ditarik ke dalam pemerintah untuk
menduduki jabatan yang strategis.
Sosok Jokowi 2012
Pada
2012, masyarakat sudah hilang harapan terhadap politik di Tanah Air. Banyak
yang merasa kalau politik hanya permainan orang-orang yang di posisi atas
semata.
Saat
itu hampir dipastikan kalau Prabowo akan menjadi presiden menggantikan Presiden
RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan wakilnya bisa jadi Megawati atau dari
tokoh muslim.
Selain
Ketua Umum Partai Gerindra itu tidak ada lagi sosok lain yang bisa menyamai,
baik kepopuleran atau elektabilitasnya.
Tidak
disangka, Jokowi yang baru saja diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta, langsung
menanjak popularitasnya karena dianggap sebagai sosok pekerja keras dan sangat
merakyat. Dia tidak hanya mengambil hati dan harapan bagi warga Jakarta, tapi
juga hampir seluruh rakyat Indonesia yang mengikuti kiprahnya lewat media mainstream
atau media sosial.
Maka
dukungan pada Jokowi semakin menguat selama 2012 sampai 2014, sehingga
mengakibatkan Prabowo mendapat lawan tangguh pada Pilpres 2014. Kita semua tahu
siapa yang memenangkan ajang pesta politik tersebut.
Nah,
kurangnya antusiasme publik terhadap pencalonan Pilpres 2024, mungkin karena
publik menunggu sosok seperti Jokowi yang tiba-tiba muncul dan dalam waktu
singkat menarik perhatian publik karena memberi harapan baru bagi kondisi Tanah
Air.
Tentu
saja, karena Jokowi sendiri sudah tidak bisa maju Pilpres lagi. [Benhil]