Humanis Bukan Anti Reliji

 


Lewat japri (jalur pribadi) Erlina bertanya padaku, ”Kenapa penampilanku tidak terlihat lebih relijius, dibanding beberapa teman yang lain?”

 

Aku sudah sering bergurau dengan perempuan yang menjadi teman satu grup WA (whatsapp) alumni SMA (Sekolah Menengah Atas) itu, baik di grup atau lewat japri. Tapi mendapat pertanyaan menyangkut spiritual yang pribadi seperti itu membuatku sedikit mengantisipasi.

 

“Kamu tidak ingin tahu,” ujarku bergurau.

 

“Tentu saja, bro. Please tell me.”

 

Aku paling tidak bisa kalau seorang wanita merajuk seperti itu. “It’s a long story.”

 

“I have a lot of time,” katanya disertai emoticon tersenyum malu.

 

Kemudian aku bersiap menceritakan pada perempuan yang dulu paling cantik di kelas dan salah satu bunga sekolah itu. Tentu saja Erlina makin cantik dan berisi saat ini. Pesonanya masih membuat kaum Adam menoleh padanya.

 

Sengaja aku jawab pertanyaan Erlina dengan essay saja.



 

Dari dulu aku selalu tertarik pada dua hal, sejarah dan teknologi dan sejarah. Lewat sejarah, kita bisa belajar tentang masa lalu. Lewat teknologi, peradaban manusia bisa menjadi lebih baik, lebih mudah, dan manusiawi.

 

Aku membaca semua sejarah, baik nasional dan internasional.

 

Peristiwa 1965 membuatku sadar, bahwa agama sangat rentan dimanipulasi oleh kekuasaan. Sampai umur sekitar 30 tahun, aku masih percaya kalau sejarah 1965 adalah pertikaian golongan kanan dan kiri, yang kebetulan dimenangkan oleh golongan pertama.

 

Negara kita termasuk beruntung karena di Cina, Kamboja, dan Vietnam, golongan kiri yang menang dan mengakibatkan pembantaian yang jumlahnya tidak terkira. Saat itu, kuanggap sejarah tidak ubahnya hitam dan putih saja. Tapi aku curiga ada yang tidak rapi di situ. Semacam chaos theory, di mana sesuatu yang rapi pasti menyisakan ketidaksempurnaan.

 

Ternyata benar. Dari banyak kesaksian pelaku dan korban 1965, banyak terjadi penyiksaan dan penyimpangan pada peristiwa itu. Orang pribumi yang terkenal santun bisa menjadi buas dan kesetanan saat membantai saudaranya. Semua itu digerakan oleh kemarahan atas nama agama, baik Islam, Kristen, atau Hindu.

 

Apakah hanya itu? Tidak.

 

Saya beruntung pernah bekerja di sebuah yayasan pendidikan internasional, di mana saya bertemu dengan banyak orang dari belahan dunia. Mereka banyak bercerita tentang hal lain di luar sana.

 

Pernah saya bertemu dengan seorang mantan militer dari Inggris yang pernah ditugaskan di Sudan Selatan. Dia bercerita kalau di daerah yang sedang terjadi perang saudara itu, para serdadu menyembelih tawanan perang yang nota bene masih satu bangsa, sambil berteriak kebesaran Tuhan.

 

Hal yang sama juga terjadi di Rwanda, Kongo, Afghanistan, Suriah, dan lain-lain. Konflik perebutan kekuasaan selalu menggunakan agama untuk memicu kemarahan massa secara kolektif (bersama-sama).

 

Manipulasi kekuasaan menggunakan agama sangat efektif sekali. Orang yang jahat bisa mencari ayat dan dalil untuk mencari pembenaran terhadap apa yang mereka lakukan, baik pembunuhan massal, kekejaman, dan penyiksaan.

 

Segala kengerian itu membuatku mengedepankan humanisme daripada agama. Humanity Above Religion. Orang bisa berlaku kejam atas nama agama, tapi tidak dengan humanisme.

 

“Apa itu humanisme?” Tanya Erlina singkat tapi antusias menunggu jawaban.

 

Humanisme adalah sikap hidup yang demokratis dan etis yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak dan tanggung jawab untuk memberi makna bagi kehidupan yang lebih baik.

 

Dengan humanisme, kita bisa mengkoreksi anomali ajaran-ajaran yang bersifat absolut dan tidak berperikemanusiaan. Ajaran itu bisa saja berbasis reliji (agama) atau tidak sama sekali.

 

Jadi humanis bukan anti reliji karena paham ini juga mengkonter semua ajaran dan ideologi yang bersifat absolut.

 

Gus Dur juga mengatakan, “memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.”

 

“Dengan humanisme, kita juga memuliakan Sang Pencipta. Itu sudah cukup bagiku tanpa perlu terlihat berpenampilan relijius atau kelihatan alim,” ujarku menutup penjelasan yang panjang.

 

“Oh begitu. Aku paham sekarang,” sambut Erlina. “Kamu memang selalu berbeda dengan yang lain. Sejak di bangku sekolah.”

 

Kuakhiri japrian itu dengan berterima kasih. Kata orang dua kalimat terakhir itu adalah pujian, tapi entahlah. [Benhil]

 

 

 

 

 

 

 

Surga Tropis

Tropics Paradise is a collection of writings and papers presented at, from, and to the tropics. Actually, the tropics is a place that comfortable, warm, and affluent. But the situation goes undermined by the real interests that not coming from the tropics itself, such as politics, ideology, lifestyle, and others. So for that matters, Tropical Paradise wants to restore a beautiful sense of the area.

Previous Post Next Post

Contact Form