Golput Antarkan Pembohong Jadi Pemenang

Reformasi membawa angin segar perubahan bagi Indonesia. Terutama perubahan dalam sistem politik. Dimana pemilu yang demokratis memberikan harapan baru untuk bangkit dari keterpurukan. Antusiasme yang tinggi pada Pemilu 1999 membuat partisipasi pemilih mencapai 92,99%.

Meski masih harus tertatih-tatih untuk bangkit, Pemilu 1999 setidaknya melahirkan lembaga wakil rakyat yang berani mengkritik dan melawan kekuasaan. Tidak sekadar sebagai penyetempel kebijakan seperti sebelumnya. Sejak itu pula banyak lembaga independen terbentuk dari buah tangan mereka yang salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun partisipasi mulai menurun pada Pemilu 2004 yaitu 84,07%. Sejak itu mulai bermunculan kembali gerakan-gerakan golput menolak pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) pun membuat kejutan baru jelang Pemilu 2009 yaitu dengan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional terbuka dimana nomor urut tidak lagi menentukan keterpilihan. Dengan harapan para pemilih sebagai kekuatan sosial politik yang tak lagi percaya pada partai politik (parpol) dapat memilih berdasarkan calon legislatif (caleg) yang dipercaya amanah.  Sayang keputusan tersebut ditetapkan di akhir waktu, sehingga banyak caleg berkualitas tak terpantau dengan baik.

Hasilnya, Pemilu 2009 dimenangkan oleh golput yaitu 29,01%. Karena Demokrat sebagai parpol pemenang saat itu hanya memperoleh 26,79% suara. Jadilah pemilu ketika itu sebagai pemegang rekor partisipasi terendah sepanjang sejarah, yaitu hanya 70,99% atau 121.588.366 pemilih dari 171.265.441 jiwa yang terdaftar.

Apa yang dihasilkan dari kemenangan golput ketika itu? Mari kita lihat bersama-sama kinerja para anggota dewan sang pemegang mandat rakyat yang dibayar mahal untuk duduk di legislatif.

Berdasarkan hasil survei Indonesia Network Election Survey (INES) pada 2013, tingkat kepercayaan publik pada wakil rakyatnya di DPR sangat rendah. Sebanyak 89,3% anggota dewan dianggap tidak jujur, 87,3% wakil rakyat yang terpilih dalam Pemilu 2009 terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Lalu 78,6% dianggap malas bersidang dan 34,5% tidak memberikan manfaat. Data yang dirilis INES pada September 2013 itu cukup mencengangkan dan mendapat penolakan dari sejumlah anggota dewan. Namun masyarakat tentu punya penilaian tersendiri untuk membenarkannya.

Selain itu, kasus-kasus kriminalisasi terhadap KPK secara kelembagaan dan pereorangan juga bermunculan setiap tahunnya sejak 2009 hingga 2013. Bahkan sempat muncul pernyataan sejumlah anggota dewan untuk membubarkan lembaga anti rasuah tersebut. Untungnya kekuatan masyarakat sipil masih cukup kuat. Tapi sampai kapan kita mampu bertahan seperti itu. Karena anggota dewan kini sudah memainkan fungsi legislasinya untuk melemahkan pemberantasan korupsi melalui revisi UU KUHAP. Padahal masih banyak Rancangan Undang-Undang (RUU) lain yang belum mereka selesaikan.

Apa yang terjadi dengan anggota dewan kita? Mengapa yang terpilih justru mereka-mereka yang malas memperjuangkan dan menyelesaikan RUU yang berpihak ke rakyat. Malah getol mencari celah melemahkan pemberantasan korupsi.

Tidak sadarkah kita bahwa kemenangan golput pada Pemilu 2009 yang mengantarkan mereka semua menjadi anggota dewan yang pemalas dan pembohong. Kemana para pemilih yang kritis dan melek politik serta mampu memilah politisi busuk dengan caleg yang masih mampu memberikan harapan. Apakah golput adalah jalan keluar? Apakah kita sudah masuk dalam golongan yang berputus asa (golputs). Sehingga tak mampu dan tak mau lagi untuk mendulang berlian yang mengkilap di balik lumpur-lumpur kotor ulah para politisi busuk.

Pemilu 2014 tinggal beberapa hari lagi, tanggal 9 April adalah penentu. Tinggal kita yang memilih, apakah membiarkan golput menang kembali, atau bangkit melawan menciptakan perubahan hanya dengan satu pilihan yang berintegritas dan bertanggung jawab.

*Al Khair
Golput

Previous Post Next Post

Contact Form