OTT Bukan Ukuran Kinerja, Jadikanlah IPK Sebagai Ukuran Kinerja KPK

OTT KPK

 

Jakarta - Pro kontra publik merespon pernyataan Pak LBP terkait OTT KPK sudah melenceng dari substansi. Namun Menko Polhukam Prof Mahfud MD sebenarnya sudah menangkap maksud dari pernyataan LBP (Luhut Binsar Pandjaitan).

KPK adalah lembaga superbody dengan tugas pokok dan fungsi utama memberantas korupsi secara sistemik. Pemberantasan korupsi strategi utamanya ada dua yaitu penindakan dan pencegahan. Anggaran dan kekuasaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sangat besar untuk itu.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban maka seharusnya KPK diberikan ukuran kinerja yang jelas dan terukur.

Ada satu indikator komposit yang dipakai sebagai ukuran tingkat korupsi di suatu negara dan berlaku secara global yaitu Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

Skor IPK setiap negara di seluruh dunia setiap tahun dikeluarkan oleh Transparansi International (TI). TI adalah organisasi nirlaba internasional non pemerintah.

Sesuai namanya, IPK dihitung dari berbagai indikator dengan metode yang rigid, ilmiah dan objektif.

Rilis IPK oleh TI selama ini menjadi indikator peringkat korupsi di satu negara. Semakin tinggi IPK maka semakin rendah korupsi di negara tersebut. Negara negara Skandinavia termasuk negeri jiran Singapura dan Australia adalah kelompok negara dengan IPK tertinggi.

IPK Indonesia meningkat hanya 1 poin menjadi 38 dari skala 0-100 pada 2021. Indonesia kini berada di urutan 96 dari 180 negara.

IPK Indonesia nilai tertingginya sebesar 40 pada 2019. Nilai tersebut turun 3 poin menjadi 37 pada 2020.

Kembali lagi ke KPK, lembaga anti rasuah yang menjadi tumpuan Indonesia menuju bebas korupsi. Tentu saja KPK tidak bisa diintervensi, namun sebaiknya KPK diberi indikator kinerja yang jelas dan terukur. Ini sebagai bentuk pertanggungjawaban KPK kepada rakyat Indonesia.

Persepsi publik menilai KPK hebat dan berhasil memberantas korupsi dengan serial OTT (Operasi Tangkap Tangan). Ini keliru dan kepuasan semu belaka! Menemukan dan menangkap pelaku dalam satu peristiwa korupsi secara tertangkap tangan hanya satu wewenang KPK di bidang penindakan.

Menurut pemahaman penulis, LBP justru sangat  akurat mengingatkan KPK untuk fokus dalam upaya pencegahan korupsi. Indonesia dan dunia sedang di era transformasi teknologi informasi. Digitalisasi administrasi dan tata kelola pemerintahan adalah instrumen yang sangat ampuh. 

Karena dengan digitalisasi akan meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan pelibatan publik dalam mengawasi jalannya satu proses birokrasi misalnya pengadaan barang dan jasa.

Tidak ada korelasi positif bahwa semakin banyak OTT maka Indonesia semakin dekat menuju negara bebas korupsi. Juga tidak ada korelasi jika semakin banyak operasi tangkap tangan, maka potensi terjadinya peristiwa korupsi menjadi semakin rendah.

OTT terbukti lebih banyak muatan show off daripada aspek strategi pemberantasan korupsi itu sendiri.

Maka penulis mendorong kepada para pemangku kepentingan, baik Presiden dan DPR untuk memberikan ukuran kinerja bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.

IPK bisa dijadikan sebagai ukuran kinerja KPK. Berikan KPK target IPK dengan kenaikan minimal 5 poin  per tahun. Serahkan strategi dan proses implementasi sepenuhnya kepada internal KPK.

Dengan demikian sepanjang tahun KPK tidak perlu dan memang tidak boleh diintervensi. Evaluasi saja kinerja KPK di akhir tahun dengan memakai memakai skor IPK yang dirilis oleh TI.

Jika ini diberlakukan maka KPK akan ditantang semakin inovatif dan fokus dalam menjalankan tupoksinya. [Benhil]


Ganda Situmorang
22 Desember 2022

Previous Post Next Post

Contact Form