Kita Memang Mengabaikan Borobudur

Borobudur


Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan rencana harga tiket masuk area stupa Candi Borobudur akan naik.

Dia menyatakan kalau turis lokal akan dikenakan tarif Rp 750.000 untuk masuk ke area stupa candi tersebut. Sontak rencana tersebut membuat kaget banyak pihak dan ditanggapi beragam.

Tiket itu dianggap terlalu mahal bagi sebagian pihak. Namun tidak sedikit yang menganggap tarif masuk area Candi Borobudur itu masuk akal, mengingat itu adalah bangunan yang punya nilai sejarah dan peradaban masa lampau yang tidak ternilai. Saya sendiri setuju dengan pendapat kedua.

Nenek Moyang Hebat

Saya pernah mengantar teman dari Australia yang datang ke Borobudur bersama teman-temannya. Dari mulai perjalanan ke candi agama Budha tersebut, mereka sudah excited.

Sebelumnya, saya pernah berkali-kali ke Borobudur, baik piknik keluarga, sekolah, kantor, atau mengantar teman dari luar kota atau luar negeri, seperti pada kesempatan itu. Tentu saja saya tidak se-excited orang-orang Australia itu. Tapi saya senang mereka mengagumi tempat wisata di negara ini.  

Saat berjalan ke arah obyek wisata itu, dari kejauhan telah tampak Candi Borobudur. Mereka melihat dengan takjub.

Teman dari Autralia itu berbicara pada saya,”You know, nenek moyangmu itu hebat. Pada abad ke-7 sudah punya peradaban maju dan mampu membangun candi semegah ini.” 

Saya tersenyum dan mengangguk, seolah-olah ikut berbangga dengan pencapian itu.

“Kita di Australia baru membangun peradaban 200 tahun yang lalu. Sedangkan nenek moyangku pada abad itu di Eropa masih sibuk dengan saling menaklukan untuk wilayah dan budak.”

“Saya malah nggak pernah berpikir apa yang terjadi di Eropa saat itu.”

“Eropa baru maju setelah penemuan teknologi, mate,” kata dia.

Benar juga ya, pikir saya. Kenapa saya tidak pernah menyadari betapa kita memiliki nenek moyang yang pikirannya jauh lebih maju pada masanya. Kenapa saya mengabaikan tentang fakta itu.

Pernah juga anak dari saudara sepupu saya yang masih duduk di sekolah dasar (SD) akan piknik ke Yogyakarta. Iseng-iseng saya bertanya, “Pasti salah satu tujuan pikniknya ke Candi Borobudur ya?”

“Tidak,” jawab dia polos. “Tidak boleh orang tua dan itu kan bukan tempat wisata sesuai dengan sekolah kita.”

Saya kaget dan tidak percaya. Baru ingat kalau keponakan itu sekolah di SD yang menekankan suatu ajaran.

Saya hampir memberi masukan pada keponakan itu kalau Candi Borobudur adalah warisan peradaban manusia, bukan representasi dari agama Budha semata. Namun dia masih anak kecil yang belum paham apa-apa. 

Dan ajaibnya, saat kontroversi rencana kenaikan tarif Borobudur mengemuka, yang paling senewen dengan kebijakan itu di grup WhatsApp keluarga adalah saudara sepupu saya, yakni ibu dari keponakan itu. He he he…

Saat ada pihak yang mencoba meninggikan kehormatan Candi Borobudur dengan cara menaikan tarifnya, ternyata orang-orang yang mengabaikannya yang protes dengan tarif tersebut.

 

Masih Dikaji Ulang

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan tidak lama ini kembali menegaskan bahwa rencana kenaikan tarif untuk masuk ke area Candi Borobudur bagi wisatawan lokal sebesar Rp 750.000 itu masih akan dikaji ulang.

Dia menyatakan telah memahami kekhawatiran dan masukan dari masyarakat tentang tingginya tarif untuk turis lokal.

“Saya mendengar banyak sekali masukan masyarakat hari ini terkait dengan wacana kenaikan tarif untuk turis lokal,” kata Luhut seperti dikutip dalam keterangan resmi, Senin ,6 Juni 2022.

Dia mengatakan kalau rencana tarif itu belum final, karena masih akan dibahas dan diputuskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pekan depan.

Luhut sendiri sangat prihatin dengan kondisi candi yang dibangun pada 14 abad yang lalu itu, baik karena pengaruh alam ataupun perilaku pengunjung (terutama lokal).

Berdasarkan kajian dari berbagai ahli yang memberikan masukan kepada Pemerintah, kondisi situs bersejarah tersebut kini mulai mengalami pelapukan. Disamping itu, perubahan iklim, erupsi gunung berapi, gempa bumi, juga menjadi tantangan tersendiri.

“Silakan cek atau tanya ke teman-teman pengelola di sana. Belum lagi perilaku pengunjung yang suka melakukan vandalisme, menyelipkan benda tertentu di sela-sela batu candi, membuang sampah sembarangan, dan yang lebih parah adalah tidak bisa menghargai Candi Borobudur sebagai situs umat Buddha. Ini semua kan perlu penanganan khusus,” kata Luhut. [Benhil]

 

Surga Tropis

Tropics Paradise is a collection of writings and papers presented at, from, and to the tropics. Actually, the tropics is a place that comfortable, warm, and affluent. But the situation goes undermined by the real interests that not coming from the tropics itself, such as politics, ideology, lifestyle, and others. So for that matters, Tropical Paradise wants to restore a beautiful sense of the area.

Previous Post Next Post

Contact Form