Semakin dekat hari pencoblosan dalam konteks Pemilihan Presiden 2019,
semakin keras para kandidat, tim sukses, dan pendukung masing-masing
untuk meningkatkan elektabilitas.
Bagi petahana maupun penantang,
menjelang hari pencoblosan, suara pemilih yang sampai saat ini belum
menentukan pilihan mereka, adalah target yang harus diraih karena jumlah
mereka yang dinilai cukup signifikan untuk memenangi Pilpres 2019.
Dalam
menentukan calon presiden dan wakilnya, para pemilih sebagian
mengandalkan pertimbangan rasional, yang antara lain dengan
memperhitungkan program yang ditawarkan kandidat.
Namun, ada pula
pemilih yang mengandalkan pertimbangan emosional untuk memilih calon
pemimpin dan wakilnya yang dirasa layak memimpin negeri ini.
Ketika
semua program, kebijakan, gagasan sudah disampaikan oleh kandidat
kepada publik, baik lewat selebaran visi-misi, kampanye tertutup, dialog
terbuka, debat capres-cawapres, publik sudah melengkapi pertimbangan
rasional mereka untuk menentukan pilihan.
Pengulangan penyampaian
program, kebijakan, dan gagasan yang disampaikan kandidat ke publik
bertubu-tubi tak akan memberikan banyak perubahan bagi publik yang sudah
menentukan pilihan capres-cawapres mereka.
Pada titik ketika
publik sudah mengetahui dengan cukup lengkap alias komprehensif tentang
program atau janji kampaye kandidat, pada saat itulah waktunya
masing-masing kandidat, tim sukses, dan pendukung mereka perlu
mengalihkan perhatian dari aspek kognitif ke aspek emosional pemilih.
Artinya,
masing-masing kubu perlu mengusahakan kerja-kerja simpatik di mata
publik. Pada konteks ini, ada keuntungan yang bisa diperoleh oleh kubu
petahana. Usaha meraih simpatik dari publik dilakukan dengan membuat
kebijakan-kebijakan populis.
Rencana pemerintah untuk memajukan
pemberian tunjangan hari raya Idul Fitri 1440 Hijriah yang jatuh pada
5-6 Juni 2019 pada saat sebelum pencoblosan 17 April 2019, yang
ditentang oleh kalangan legislator dari parpol yang tergabung dalam
koalisi penantang, agaknya bisa dibaca sebagai upaya melakukan aksi
simpatik.
Lalu apa yang bisa dilakukan kubu penantang untuk
meraih simpatik publik menjelang pencoblosan? Penantang, seperti juga
petahana, tak melewatkan kesempatan untuk mendatangi masyarakat biasa
maupun tokoh publik yang sedang menghadapi cobaan entah berupa cobaan
bencana alam, entah cobaan menderita penyakit serius.
Momentum
mutakhir yang dimanfaatkan kandidat untuk meraih simpatik publik adalah
mengunjungi Ibu Ani Yudhoyono, istri Presiden RI keenam
Susilo Bambang Yudhoyono, yang sedang dirawat di Singapura karena menderita kanker
darah.
Jokowi sebagai petahana, bahkan juga memanfaatkan waktunya
untuk menengok putri artis Denada, Shakira Aurum, yang juga menderita
kanker darah dan dirawat di rumah sakit tempat Ibu Ani berobat.
Prabowo
sebagai petahana pun memanfaatkan momentum yang mengundang simpatik itu
dan dilanjutkan oleh cawapresnya,
Sandiaga Salahuddin Uno, yang ditemani sang ibu,
Mien Uno, yang berkawan dengan Ibu Ani Yudhoyono.
Aksi simpatik
yang dilakukan kandidat dengan memanfaatkan momentum-momentum yang
mengharukan tentu tak semata-mata berkaitan dengan kepentingan politik.
Sebab,
tanpa ada momentum pencoblosan pun, bisa dipastikan ketokohan Ibu Ani
Yudhoyono akan punya daya magnit bagi tokoh publik untuk menengok dan
mendoakan kesembuhannya.
Aksi simpatik lain yang bisa dilakukan
kandidat yang terlibat rivalitas Pilpres 2019 adalah memperbanyak
mengeluarkan pernyataan-pernyataan politik yang menyejukkan, tak
kontroversial, dan optimistik.
Jika sebelumnya penantang
melontarkan pernyataan yang kontroversial, seperti kemungkinan Indonesia
bubar pada 2030, lalu dilanjutkan dengan pernyataan bahwa Indonesia
akan punah jika dia kalah dalam Pilpres 2019, agaknya bisa diprediksi
bahwa pernyataan-pernyataan kontroversial serupa akan direduksi kalau
bukan dihindari sama sekali.
Namun, pernyataan kontroversial yang
dianggap dapat memengaruhi emosi pemilih seperti lontaran kata-kata
bertema penguasaan ekonomi Indonesia oleh pihak asing, banyaknya
pekerja asing yang merebut lapangan kerja di dalam negeri, agaknya masih
akan diperdengarkan menjelang pencoblosan.
Tampaknya, poin
krusial menjelang pencoblosan yang perlu dipertimbangkan masak-masak
oleh petahana maupun penantang adalah kehati-hatian melontarkan
pernyataan yang bertolak belakang dengan realitas, bukti-bukti faktual.
Setelah
konsumen informasi dirundung persoalan banyaknya hoaks, para pengelola
media massa cetak maupun daring berlomba-lomba membuka rubrik cek fakta.
Tradisi
pemeriksaan fakta telah dilakukan oleh media massa, seperti Associated
Press, kantor berita terbesar dan tepercaya yang berpangkalan di Amerika
Serikat, yang belakangan sering muncul untuk menguji pernyataan
Presiden Donald Trump yang kerap kontroversial karena cenderung
bertentangan dengan fakta.
Maraknya berbagai institusi
jurnalistik membuka rubrik pemeriksaan fakta dalam rangka menguji
kebenaran pernyataan tokoh publik yang diragukan akurasinya merupakan
bagian dari misi jurnalisme dalam memantapkan demokrasi.
Pernyataan
yang tak berdasar data yang akurat yang dikeluarkan tokoh publik memang
perlu diverifikasi untuk memberikan pencerahan kepada publik.
Yang
tak kalah penting untuk diperhatikan para kandidat adalah kesiapan diri
dalam menerima kekalahan setelah
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
mengeluarkan hasil penghitungan suara pemilih secara definitif.
Memang
undang-undang memberi kesempatan para kandidat untuk menggugat hasil
pemilu yang dikeluarkan KPU dan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
melakukan uji hasil penghitungan suara itu.
Namun, alangkah
indahnya jika Pilpres 2019 bisa final dan diterima hasilnya cukup sampai
KPU menetapkan hasilnya tanpa harus beperkara di MK. (M. Sunyoto)