Cerita Pilkada DKI Jakarta

Jakarta
Jakarta
Jakarta, 22/12 (Benhil) - Satu periode tiga gubernur, itulah yang terjadi dalam kepemimpinan kepala daerah di Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta periode 2012 hingga 2017. Satu periode tiga gubernur memang hanya ada di Jakarta, belum pernah ada di daerah lain atau bahkan di negara lain.

Itu saja belum termasuk Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Soni Soemarsono yang juga Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri yang ditugaskan untuk memimpin Jakarta selama masa kampanye pilkada dimulai pada 28 Oktober ini sampai 11 Februari 2017 dan masa kampanye pilkada putaran kedua pada 7 Maret hingga 15 April 2017.

Selama masa kampanye, Gubernur dan Wakil Gubernur yang menjadi calon petahana wajib cuti sehingga pemerintah pusat menunjuk Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta.

Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang didukung PDI Perjuangan dan Gerindra terpilih melalui dua tahap penyelenggaraan pilkada pada 11 Juli dan 20 September 2012.

Pada tahap pertama Pilkada DKI Jakarta, pasangan tersebut mengantongi sekitar 1,8 juta suara (42,6 persen) menyisihkan lima pasangan lain, yakni Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli dengan 1,4 juta suara (34,5 persen), Hidayat Nurwahid dan Didik J Rachbini dengan 508 ribu suara (11,72 persen), Alex Nurdin dan Nono Sampono dengan 202 ribu suara (4,46 persen), Faisal Basri dan Biem Benyamin dengan 215 ribu suara (4,98 persen), serta pasangan Hendardji dan Ariza dengan hanya meraup sekitar 85 ribu suara (1,98 persen).

Dua pasangan peraih suara terbanyak masuk ke pilkada putaran kedua karena pada putaran pertama tidak ada satu pun pasangan yang meraih 50 persen plus satu suara. Pada putaran kedua pemilihan kepala daerah Jakarta, pasangan Jokowi-Ahok unggul dengan meraih 2,4 juta suara (53,8 persen) dibandingkan dengan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi yang meraih 1,4 juta suara (34 persen).

Pasangan Jokowi-Ahok pun dilantik pada 15 Oktober 2012. Jokowi memimpin ibu kota hanya dua tahun karena dia ikut dan terpilih dalam pemilu presiden tahun 2014 untuk memimpin Republik Indonesia.

Jokowi dilantik menjadi Presiden bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 20 Oktober 2014 sedangkan Ahok menjadi Gubernur dan dilantik pada 19 November 2014.

Ahok menunjuk Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat sebagai Wakil Gubernur yang dilantik pada 17 Desember 2014. Musim pilkada datang lagi pada 2017. Ahok yang semula amat percaya diri akan maju lewat jalur independen dan bersama Teman Ahok telah mengumpulkan dukungan KTP, akhirnya memilih dukungan dari partai politik.

Ahok maju berpasangan lagi dengan Djarot. Pasangan Ahok-Djarot bersaing dengan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga S Uno serta pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni.

Tensi persaingan amat tinggi. Inilah pemilihan umum kepala daerah tetapi terasa seperti pemilihan umum presiden, karena pasangan calon yang tampil, langsung didukung oleh para mantan presiden dan mantan calon presiden.

Ahok-Djarot disokong oleh PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri (Presiden ke-5 RI) bersama Golkar, NasDem, dan Hanura; Anies-Sandi diusung Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto (Calon Presiden Pilpres 2014) bersama PKS; Agus-Sylvi didukung Partai Demokrat yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden ke-6 RI) bersama PAN, PKB, dan PPP.

Selain aktif memberikan dukungan kepada masing-masing calon, mereka juga memberikan hak suaranya, termasuk Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan elit politik nasional lainnya.

Hasil pemungutan suara pada 15 Februari 2017, tak ada pasangan yang meraih 50 persen plus satu suara. Pasangan Ahok-Djarot mengantongi sekitar 2,3 juta suara (42,9 persen), Anies-Sandi 2,1 juta suara (39,9 persen), dan Agus-Sylvie hanya mendapat 937 ribu suara (17 persen). Hasil tersebut mengantarkan dua pasangan peraih suara terbanyak maju ke tahap putaran kedua pada 19 April 2017, yakni Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.

Kontroversi pidato Ahok di Pulau Seribu pada 27 September 2016 yang dianggap menistakan agama makin merebak ke publik. Memasuki putaran kedua menjelang pencoblosan suara pada 19 April 2017 juga diwarnai dengan suasana menegangkan antarpendukung pasangan calon. Hasilnya, pasangan Ahok-Djarot pun kalah dengan hanya berhasil meraup sekitar 2,3 juta suara (42 persen) sedangkan Anies-Sandi unggul dengan meraih 3,2 juta suarat (57,9 persen).

Kekalahan Ahok dalam pilkada ditambah dengan kenyataan yang dia harus terima bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang mengambil tempat persidangan di Gedung Kementerian Pertanian pada 9 Mei 2017 memvonis dia setelah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama dan menjatuhkan pidana penjara dua tahun dan memerintahkan terdakwa ditahan.

Atas alasan keamanan, Ahok dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang ke Rumah Tahanan Markas Korps Brimob Polri.

Sejak 9 Mei hingga 15 Juni 2017, Wakil Gubernur Djarot bertindak selaku Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta dan setelah itu menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga 16 Oktober 2017.

Setelah pelantikan Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga S Uno periode 2017-2022 oleh Presiden Jokowi di Istana Negara pada 16 Oktober 2017, langsung pada hari itu juga dilakukan serah terima jabatan di Balai Kota tetapi Djarot tidak hadir dan memilih berlibur bersama keluarga di Nusa Tenggara Timur.

Kembali bersatu Perjalanan pilkada Jakarta 2017 terasa panas dan masyarakat seolah terbelah dalam memberikan dukungan kepada masing-masing calon.

Bagi pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio, pilkada Jakarta yang berlangsung panas harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia dalam bernegara dan berpolitik. Tidak hanya terjadi "perang" antarpartai politik pengusung dan antarpendukung pasangan calon tetapi juga terjadi intrik dan benturan antarkelompok yang dipicu pernyataan salah satu calon yang dinilai telah menodakan agama.

Setelah pilkada, masyarakat harus kembali bersatu dan tidak terkotak-kotak lagi. Terlebih, Pilkada DKI Jakarta tidak hanya membuat ibu kota bergejolak tetapi juga membuat seluruh Indonesia panas.

Perlunya untuk kembali bersatu juga disampaikan oleh Jokowi setelah memberikan suara pada pemungutan suara putaran kedua pada 19 April 2017 di TPS (Tempat Pemungutan Suara) 4 di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Jokowi mengimbau warga Jakarta harus siap dengan apa pun hasil pilkada.

Perbedaan pilihan politik jangan sampai pecah-belah persatuan. Kita ingat, kita semua bersaudara. Apapun hasilnya, siapa pun yang terpilih, harus diterima dengan lapang dada.

Jokowi meyakini Pilkada DKI Jakarta putaran kedua berjalan lancar dan akan menghasilkan pemimpin kota yang terbaik, dan terpercaya. Dia kembali menekankan ikatan persaudaraan antarwarga Jakarta harus terjalin erat.

Dalam pidato perdana setelah dilantik, Gubernur Anies antara lain mengatakan bahwa dia dan Sandi bukan sebagai gubernur dan wakil gubernur mereka saja tetapi bagi seluruh warga Jakarta.

Kini saatnya bergandengan sebagai sesama saudara dalam satu rumah untuk memajukan kota Jakarta. "Holong manjalak holong, holong manjalak domu," demikian sebuah pepatah Batak mengungkapkan. Kasih sayang akan mencari kasih sayang, kasih sayang akan menciptakan persatuan. Ikatan yang sempat tercerai, mari kita ikat kembali. Energi yang sempat terbelah, mari kita satukan kembali.

Jakarta adalah tempat yang dipenuhi oleh sejarah. Setiap titik Jakarta menyimpan lapisan kisah sejarah yang dilalui selama ribuan tahun. Jakarta tidak dibangun baru-baru saja dari lahan hampa.

Sejak era Sunda Kalapa, Jayakarta, Batavia hingga kini, Jakarta adalah kisah pergerakan peradaban manusia. Jakarta sebagai "melting pot", telah menjadi tradisi sejak lama. Di sini tempat berkumpulnya manusia dari penjuru Nusantara, dan penjuru dunia. Jakarta tumbuh dan hidup dari interaksi antarmanusia.

Dalam sejarah panjang Jakarta, banyak kemajuan diraih dan pemimpin pun datang silih berganti. Masing-masing meletakkan legasinya, membuat kebaikan dan perubahan demi kota dan warganya.

Anies-Sandi menyampaikan pujian dan rasa terima kasih kepada para Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya, yang turut membentuk dan mewarnai wujud kota hingga saat ini. Jakarta juga memiliki makna pentingnya dalam kehidupan berbangsa.

Di kota ini, tekad satu Tanah Air, satu bangsa dan satu bahasa persatuan ditegakkan oleh para pemuda. Di kota ini pula bendera pusaka dikibartinggikan, tekad menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat diproklamirkan ke seluruh dunia.

Anies mengajak seluruh warga, menjadikan usaha memajukan kota sebagai sebuah gotong-royong, sebuah gerakan bersama. Dalam pembangunan kota ke depan, Gubernur bukan sekadar administrator bagi penduduk kota, bukan pula sekadar penyedia jasa bagi warga sebagai konsumennya. (Ben/An/Budi Setiawanto)
Previous Post Next Post

Contact Form