Benteng Tolukko, yang pada masa awalnya dikenal dengan nama Benteng Hollandia, merupakan saksi bisu perjalanan sejarah panjang Ternate. Benteng ini pertama kali didirikan pada tahun 1540 oleh Francisco Serao, seorang panglima dari Portugis. Meski kini lebih dikenal sebagai Tolukko, asal-usul nama tersebut masih menjadi misteri.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa nama ini merujuk pada Kaicil Tolukko, Sultan Ternate yang memerintah pada 1692. Namun, mengingat tahun pendirian benteng jauh lebih awal, kemungkinan besar nama itu tidak diberikan untuk menghormati sang Sultan.
Pada tahun 1610, Pieter Both, seorang komandan Belanda, melakukan renovasi besar pada benteng ini. Langkah tersebut diambil untuk memperkuat pertahanan dari ancaman bangsa Spanyol yang gencar menyerang Pulau Ternate.
Benteng ini sempat menjadi tempat perlindungan bagi penduduk setempat dari serangan Spanyol, meski banyak yang akhirnya memilih berlindung di Benteng Malayo.
Berdasarkan laporan sejarah, benteng ini sempat dihuni oleh sekitar 15 hingga 20 tentara yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap.
Pada tahun 1627, di bawah kepemimpinan Gubernur Jacques le Febre, Benteng Tolukko disebut memiliki dua menara kecil dan terletak strategis di atas bukit di utara Benteng Malayo. Seperti dilansir dari Indonesia Karya, seorang korporal yang bertugas di sana juga bertanggung jawab untuk memastikan kebutuhan logistik bagi 22 tentara yang menjaga benteng.
Pada tahun 1661, Dewan Pemerintahan Belanda mengizinkan Sultan Mandarsyah beserta pasukannya untuk tinggal di dalam benteng ini. Kehadiran Sultan menyebabkan pengurangan jumlah garnisun Belanda di Benteng Tolukko hingga 160 orang.
Namun, pada 16 April 1799, pasukan Sultan Tidore ke-19, Kaicil Nuku, mencoba merebut benteng ini. Serangan tersebut berhasil dipatahkan oleh gabungan pasukan Ternate dan VOC.
Penduduk Ternate pada bulan Juni 1797 tercatat sebanyak 3.307 jiwa. Namun, akibat pertempuran yang intens dan pengepungan berkepanjangan oleh pasukan Nuku, jumlah penduduk menurun drastis menjadi hanya 2.157 jiwa. Banyak yang tewas akibat perang dan kelaparan, sementara sebagian lainnya melarikan diri ke Halmahera.
Seiring waktu, kondisi Benteng Tolukko semakin memburuk. Pada tahun 1864, di bawah pimpinan Residen P. Van der Crab, benteng ini akhirnya ditinggalkan karena hampir seluruh bangunannya mengalami kerusakan parah.
Namun, pada tahun 1996, pemerintah melakukan upaya restorasi. Sayangnya, renovasi tersebut justru menghilangkan beberapa elemen asli benteng, termasuk terowongan bawah tanah yang sebelumnya terhubung langsung ke laut.
Kini, Benteng Tolukko tetap berdiri sebagai simbol perjuangan dan perlawanan rakyat Ternate terhadap berbagai penjajah yang datang silih berganti. Meski banyak perubahan telah terjadi, kisah yang tersimpan di balik dinding-dindingnya terus menginspirasi generasi masa kini untuk menjaga warisan sejarah. [Benhil Online]