Manokwari, wilayah yang terletak di Papua Barat, memiliki keunikan yang tak dimiliki tempat lain. Kabupaten dengan populasi sekitar 166 ribu jiwa ini dihuni oleh masyarakat yang kehidupannya lekat dengan laut.
Di tengah kehidupan mereka yang erat dengan alam, terdapat sebuah tradisi yang mencerminkan keharmonisan manusia dan lingkungan: tradisi memanggil ikan di Pantai Bakaro.
Harmoni Laut dan Kehidupan di Pantai Bakaro
Pantai Bakaro, yang terletak di pesisir utara Manokwari, menjadi saksi tradisi unik ini. Setiap pagi dan sore hari, masyarakat setempat mengadakan ritual memanggil ikan dari lautan.
Meski ikan-ikan tersebut bukanlah peliharaan, mereka selalu datang memenuhi panggilan sang pawang. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan keakraban manusia dengan alam, tetapi juga menjadi wujud penghormatan terhadap anugerah laut.
Tradisi ini lebih dari sekadar kebiasaan. Ia adalah cerminan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, mengajarkan nilai-nilai kepedulian dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Bagi masyarakat Desa Bakaro, memanggil ikan bukan hanya memberi makan, melainkan menjaga keseimbangan ekosistem laut.
Ritual Pemanggilan: Sebuah Pertunjukan Alam
Prosesi pemanggilan ikan biasanya dilakukan saat air laut surut, baik di pagi maupun sore hari. Dengan membawa alat yang mengeluarkan suara, seperti peluit atau terompet kerang, warga mulai memanggil ikan sambil menaburkan pakan alami berupa sarang semut dan rayap.
Proses ini sering kali menjadi momen penuh antusiasme, di mana anak-anak dan orang dewasa berkumpul di tepi pantai, menyaksikan ikan-ikan mendekat.
Namun, keberhasilan ritual ini dipengaruhi oleh kondisi alam. Kadang ikan datang dengan cepat, kadang memerlukan waktu lebih lama, tergantung pada besarnya ombak.
Saat ikan-ikan mulai berkumpul, pawang akan menepukkan makanan ke permukaan air, menciptakan suasana riang di sepanjang pantai. Ikan-ikan yang biasanya muncul di antaranya adalah ikan bubara, kakatua, belanak, kapas, dan badut.
Sosok di Balik Tradisi
Lukas Awiman Barayap, seorang pria berusia 62 tahun, menjadi tokoh yang tak terpisahkan dari tradisi ini. Dikenal sebagai “pemanggil ikan”, Lukas telah menjaga kelestarian tradisi ini sejak tahun 1995. Dedikasinya bahkan membawanya meraih penghargaan Kalpataru pada 2019 untuk kategori Perintis Lingkungan.
Awalnya, Lukas memanggil ikan dengan cara memukulkan batu ke karang. Namun, seiring bertambahnya usia, ia mulai menggunakan peluit untuk mempermudah proses pemanggilan.
Kini, kebiasaan Lukas diikuti oleh masyarakat lainnya. Meski dulu tradisi ini digunakan untuk menangkap ikan, Lukas kini memilih membiarkan ikan-ikan tersebut makan dengan bebas dan kembali ke laut setelah kenyang.
Tradisi yang Mendunia
Keunikan tradisi ini telah menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara. Namun, bagi masyarakat Desa Bakaro, ritual ini bukan sekadar atraksi wisata. Mereka melihatnya sebagai cara untuk menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikan melalui laut. Tidak ada tarif yang dikenakan untuk menyaksikan prosesi ini, karena inti dari tradisi ini adalah rasa hormat terhadap alam.
Dengan mempertahankan tradisi memanggil ikan, masyarakat Desa Bakaro tidak hanya melestarikan kearifan lokal, tetapi juga memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Tradisi ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan alam dan berbagi tanggung jawab untuk melestarikan lingkungan bagi generasi mendatang. [Benhil Online]