Masih Adakah Eni Saragih Lainnya?

Pada tanggal 17 Juli 2018 adalah hari terakhir pendaftaran bagi orang-orang di Tanah Air yang ingin menjajal kemampuannya di lembaga- lembaga legislatif mulai dari DPD, DPR RI, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota untuk mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Puncak dari kegiatan ini adalah pada tanggal 17 April 2019. Pada saat itu lebih dari 150 juta orang Indonesia akan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) guna menentukan pilihan mereka terhadap wakil rakyat yang mana yang bakal duduk di DPD, DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten kota di Tanah Air. Entah berapa ribu orang yang sangat berambisi untuk meraih posisi sebagai wakil-wakil rakyat di lembaga- lembaga perwakilan rakyat itu.

Orang-orang yang "ambisius" itu tentu saja menempuh banyak cara agar partai-partai politik yang seluruhnya 16 parpol di Tanah Air ditambah beberapa parpol lokal di Provinsi Aceh mau mencantumkan mereka ke dalam daftar calon tetap. Para bakal calon legislator ini harus bisa "menjual" ide-ide mereka supaya memuluskan jalan untuk memasuki penyusunan daftar calon tetap.

Akan tetapi, sayangnya di tengah-tengah suasana meriah menjelang pendaftaran calon-calon legislator itu, muncul berita yang amat memalukan dari Senayan, Jakarta, karena lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memborgol seorang wakil rakyat yang kali ini namanya adalah Eni Maulan Saragih. Tidak tanggung-tanggung, wanita ini adalah Wakil Ketua Komisi VII yang diduga atau istilah kerennya menerima sogokan miliaran rupiah untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I.

Yang boleh dibilang luar biasa akibat kasus dugaan pelanggaran hukum tersebut adalah para penyidik komisi antirasuah ini harus mendatangi rumah Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basyir untuk mencari dan menemukan dokumen-dokumen yang terkait dengan proyek raksasa itu.

Eni digerebek bersama suaminya yang bernama Muhammad Al Khafidz yang baru saja terpilih sebagai Bupati Temanggung, Jawa Tengah. Yang tidak kalah menariknya adalah Eni ditangkap saat "bertamu" di rumah Menteri Sosial Idrus Marham yang tak lain adalah mantan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Eni disebut-sebut berada di rumah Idrus karena seorang anak Idrus berulang tahun. Entah faktor apa yang "mengharuskan" Eni ikut hadir pada acara HUT anaknya Idrus Marham tersebut, apalagi diperkirakan yang berulang tahun itu bukannya seorang anak kecil.

Selain Eni, tentu masyarakat tidak akan bisa melupakan kasus yang menimpa mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang juga mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar yang harus mendekam di lembaga pemsayarakatan selama 15 tahun akibat terbukti terlibat dalam kasus korupsi pembuatan KTP elekronik yang merugikan negara tidak kurang dari Rp2,3 triliun. Nilai proyek ini adalah Rp5,9 triliun. Walaupun sudah berjalan sejak 2011, masih banyak warga Indonesia yang belum mendapatkan KTP-el.

Rakyat juga akan mengingat beberapa nama penghuni Senayan yang ditangkap para penyidik KPK dalam kasus korupsi, mulai dari Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazarudin, Dewie Yasin Limpo, dan Damayanti Wisnu Putranti.

Sementara itu, di Medan, puluhan anggota dan mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara menjadi tersangka dalam kasus korupsi yang terkait dengan mantan Gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho.

Karena pada tanggal 17 April 2019 bukanlah waktu yang masih lama bagi para pemilih, tentu menjadi hal yang menarik untuk direnungkan terkait dengan masih ada di antara wakil rakyat yang ditangkap KPK. Sampai kapankah rakyat Indonesia harus menyaksikan tragedi demi tragedi yang harus dialami wakil-wakil rakyat yang bisa dibilang tak tahu diri atau tak tahu malu tersebut Kurangkah Gajinya? Untuk menjadi seorang anggota DPR, tentu seseorang harus berjuang keras agar pertama-tama namanya tercantum dalam daftar tetap peserta dan jika sudah masuk ke daftar calon tetap, dia wajib "menjual dirinya" kepada ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu pemilih supaya terpilih. Tidak kalah pentingnya adalah dia harus memiliki "logistik" alias uang yang banyak agar bisa mendukung kampanyenya kepada orang-orang yang diharapkan bakal mencoblos gambarnya di kertas surat suara.

Menjelang Pemilihan Umum 2014, ada seorang calon anggota DPR yang menyiapkan "logistik" sampai Rp2 miliar agar sukses dalam pesta demokrasi itu.

Karena belum terlalu populer, baik di kalangan partai pendukungnya maupun calon pemilhnya, dia tentu harus melakukan kampanye secara besar-besaran mulai dari upaya memasukkan namanya ke dalam daftar calon tetap hingga dipilih oleh rakyat.

Akhirnya, orang ini memang menjadi "penghuni" Senayan, Jakarta. Namun, yang patut dipertanyakan adalah karena dia mengeluarkan uang Rp2 miliar, kemungkinan pada otaknya muncul pikiran agar "modalnya" itu bisa kembali, kemudian "mencari untung". Gaji ataupun pendapatan resmi seorang wakil rakyat di Senayan paling-paling Rp75 juta tiap bulannya. Padahal, dia harus menghidupi anak istrinya, "menyetor" ke fraksinya, dan entah berapa lagi uang yang harus disediakan untuk pos-pos yang "tak jelas".

Oleh karena itu, tidak heran jika begitu banyak anggota DPR dan DPRD yang harus melakukan korupsi, gratifikasi, atau apa pun istilahnya.

Bahkan, beberapa tahun lalu, ada anggota DPR yang kepergok menerima sogokan dalam proyek pembuatan kitab suci Quran. Kalau pembuatan kitab suci saja rela dikorupsi, apalagi pembangunan PLTU, tol, hingga pembangunan sekolah.

Yang patut direnungkan adalah apakah kasus Eni Saragih, Angelina Sondakh, dan Setya Novanto akan terus dibiarkan terjadi dan terjadi lagi pada Pemilu 2019? KPK baru-baru ini telah mengeluarkan surat keputusan tentang larangan bagi seluruh partai politik untuk mencalonkan seseorang yang pernah menjadi terpidana dalam kasus korupsi, narkoba, dan pelecehan seksual terhadap anak-anak.

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 itu banyak ditentang oleh anggota DPR, termasuk Ketua DPR RI Bambang Soesatyo yang mengatakan bahwa KPK tidak perlu mengeluarkan larangan semacam itu dan membiarkan rakyat untuk menentukan pilihannya atau wakil-wakil rakyatnya.

Untung saja PKPU itu dimasukkan oleh Kementerian Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara.

Coba saja kalau PKPU 20 ini tidak ada diundangkan? Bisa dibayangkan betapa banyaknya Eni Saragih, Setya Novanto, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, dan lainnya akan "duduk ongkang-ongkang" di Senayan, DPRD I, maupun di DPRD II sambil membayangkan akan mendapatkan kembali "logistik" yang telah mereka keluarkan pada saat mereka berkampanye.

Kalupun KPU RI dan KPU-KPU di daerah sudah menyeleksi dan memilih siapa saja yang berhak namanya dicantumkan dalam daftar calon tetap, tiba saatnya bagi jutaan pemilih untuk memikirkan dan merenungkan pilihan-pilihan mereka yang terbaik.

Jangan jatuhkan pilihan kepada nama-nama yang bobrok, tidak amanah terhadap pilihan rakyat. Gunakan hati nurani dalam mencoblos karena pertaruhannya adalah amat besar, yakni memilih wakil rakyat yang memang mau benar-benar menjadi pengabdi bagi orang yang mencoblos namanya.
Previous Post Next Post

Contact Form