Kekerasan Terhadap Wartawan Di Lampung Terus Berlangsung


Bandarlampung, 30/12 (Benhil) - Kasus kekerasan terhadap wartawan di Provinsi Lampung belum berhenti dan masih terus berulang dengan pelaku, baik oknum institusi maupun pihak tertentu, nyaris tidak berubah.

Berdasarkan catatan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bandarlampung, setidaknya sejak 2013 terjadi kecenderungan kasus kekerasan terhadap wartawan terus meningkat, bahkan berulang hingga saat ini.

"Pelakunya pun oknum aparat keamanan, oknum pejabat pemerintah, dan masyarakat," kata Direktur LBH Bandarlampung Alian Setiadi pada diskusi akhir tahun digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, Jumat (29/12) petang.

Seharusnya kekerasan terhadap wartawan dihentikan dan pelakunya agar jera harus diproses hukum sebagaimana mestinya, kata Alian. Ketua AJI Bandarlampung Padli Ramdan menerangkan catatan merah tahun ini adalah peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pada tahun ini terjadi lima kasus kekerasan dengan pelaku dari oknum kepolisian POLRI, anggota DPRD, dan warga.

"Tiga kasus kekerasan itu melibatkan aparat kepolisian. Namun tidak ada sanksi tegas terhadap pelaku. Hanya satu pelaku yang dicopot jabatannya dan dimutasi," kata Padli pula.

Ia berpendapat bahwa pemicu beberapa kasus kekerasan itu karena ketidakprofesionalan wartawan dalam bekerja dan melupakan kode etik jurnalistik. Karena tidak profesional, narasumber pun kecewa dan melakukan kekerasan terhadap wartawan, baik kekerasan verbal maupun fisik. Ketua Bidang Advokasi AJI Bandarlampung Rudiyansyah mengatakan bahwa kekerasan terhadap wartawan terjadi karena masih banyak pihak yang belum memahami mekanisme hak jawab dan klarifikasi. Padahal, publik yang dirugikan dengan pemberitaan media juga bisa mengadu ke Dewan Pers.

Berdasarkan catatan AJI Bandarlampung, pada tahun ini terjadi lima kasus kekerasan, sedangkan tahun sebelumnya hanya empat kasus. Dari lima kasus tersebut, tiga kasus melibatkan anggota polisi, sisanya kekerasan dilakukan anggota DPRD dan warga.

Salah Tangkap Jurnalis Tiga kasus kekerasan yang melibatkan polisi adalah kasus salah tangkap terhadap wartawan Trans Lampung saat meliput kasus penggerebekan kampung narkoba di Pesawaran. Kasus salah tangkap oleh personel kepolisian ini pernah pula terjadi pada tahun sebelumnya. Sejumlah personel kepolisian itu pun diadukan ke Propam Polda Lampung. Ada pula kasus pelarangan liputan dan penggeledahan terhadap dua jurnalis di Way Kanan. Peristiwa ini melibatkan Kapolres Way Kanan yang saat itu masih dijabat AKBP Budi Asrul.

Kasus terakhir adalah kekerasan yang dilakukan anggota Brimob terhadap jurnalis Bongkar Post di Lampung Utara. Dalam kasus terakhir ini, pelaku melakukan kekerasan fisik dengan memukul dan menendang jurnalis itu. Kasus ini pun berakhir damai dengan difasilitasi pihak Polda Lampung dan pimpinan kesatuan oknum polisi bersangkutan.

Tingginya kekerasan yang melibatkan aparat penegak hukum, terutama polisi, justru menjadi tanda tanya besar. Aparat kepolisian yang seharusnya melindungi warga. Namun, ternyata menjadi musuh pers. Padahal, aktivitas jurnalistik dilindungi undang-undang. Seharusnya aparat penegak hukum memahami hal ini, kata Ketua AJI Bandarlampung Padli Ramdan. Keprihatinan serupa, selain disampaikan oleh Direktur LBH Bandarlampung Alian Setiadi, juga diungkap oleh sejumlah elemen dan pegiat demokrasi di Lampung.

Dalam 2 tahun terakhir, berdasarkan data kasus kekerasan secara nasional, polisi telah menjadi musuh kebebasan pers. Polisi banyak menjadi pelaku kekerasan. Institusi ini juga tidak tuntas menangani beberapa kasus kekerasan yang sudah dilaporkan ke Polri. Apalagi, jika yang dilaporkan adalah rekan sesama polisi, Polri menjadi ragu dan cenderung tidak profesional dalam menanganinya.

AJI menyoroti bahwa tingginya angka kasus kekerasan terhadap wartawan yang melibatkan personel Polri akibat tidak adanya sanksi tegas yang diberikan kepada pelaku.

Padli Ramdan menyebutkan ada dua kasus kekerasan di Lampung tahun ini berakhir damai antara pelaku dan korban. Satu kasus yang melibatkan pejabat perwira menengah polisi, kapolres, hanya berkhir dengan pencopotan jabatan dan mutasi. Tidak ada sanksi yang lebih tegas dari pimpinan Polri di tingkat provinsi (polda) hingga Mabes Polri sehingga bisa memutus rantai kekerasan dilakukan oknum aparat kepolisian ini.

Tidak adanya sanksi tegas terhadap para pelaku ini juga tidak lepas dari sikap jurnalis dan media yang dengan mudah berdamai dengan pelaku.

"Terkadang pihak wartawan itu sendiri yang hendak berdamai," ujar Heriyansyah, birokrat dari Humas Pemprov Lampung pula.

Direktur LBH Bandarlampung Alian Setiadi mengingatkan mestinya dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis itu, siapa pun pelakunya harus diproses hukum, termasuk bila dilakukan oknum aparat penegak hukum. "Agar timbul efek jera dan tidak lagi berulang kasus kekerasan serupa oleh oknum institusi yang sama," katanya lagi.

Padahal, menurut mantan Ketua AJI Bandarlampung yang juga redaktur salah satu koran harian di Lampung, Yoso Muliawan, kasus kekerasan terhadap wartawan dan penghalang-halangan dalam melakukan kegiatan jurnalistik adalah tindakan pidana yang melanggar Uundang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Pilihan untuk memaafkan pelaku merupakan hal yang manusiawi. Akan tetapi, jangan sampai menghilangkan kasus pidananya sehingga peristiwa serupa tidak berulang kembali. Sikap tegas kepada pelaku ini penting dilakukan agar kasus kekerasan terhadap wartawan bisa disetop dan tidak ada lagi rekan-rekan jurnalis yang menjadi korban atau dihalang-halangi saat meliput serta mendokumentasikan peristiwa," ujar Yoso yang juga Wakil Koordinator Wilayah Sumatera AJI itu pula.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung Dr. Nanang Trenggono selain prihatin atas masuk terus terjadi kasus kekerasan terjadap jurnalis dengan penanganan belum tuntas, juga merasa prihatin adanya kecenderungan pemberitaan pers, khususnya di Lampung kurang kritis seperti diharapkan publik.

"Apalagi, dalam kasus indikasi penyimpangan dalam pelaksanaan pilkada di Lampung, media massa dan wartawan di Lampung sepertinya enggan menuliskan dan mengkritisnya," katanya pula.

Padahal, kata Nanang, praktik-praktik menyimpang yang merusak tatanan demokrasi yang dilakukan pihak korporasi maupun pihak lain mesti disikapi oleh media massa dengan mengeksposenya secara objektif dan faktual tanpa harus merasa takut atas risiko yang mungkin akan dihadapi.

Indeks Turun Dosen FISIP Universitas Lampung dan peneliti Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Provinsi Lampung bekerja sama dengan Dewan Pers Toni Wijaya M.A. mengungkapkan dalam kurun waktu 2016 hingga 2017 selain meningkat kasus kekerasan terhadap wartawan, pada tahun ini IKP di Bumi Ruwa Jurai Lampung ini juga terendah kedua secara nasional.

IKP Lampung, kata Toni, sesuai dengan hasil survei telah dikeluarkan oleh Dewan Pers belum lama ini menunjukkan IKP Indonesia hasil survei tahun 2017 (untuk kondisi pers sepanjang 2016) mencapai 67,92 atau membaik dibanding tahun sebelumnya 63,44. Sementara itu, IKP Lampung hanya 62,36 atau menurun jika dibandingkan tahun lalu 67,99.

"IKP Lampung terendah setelah Sumatera Utara yang mendapat nilai 57,63. Sumut mendapat indeks terendah karena tahun lalu banyak terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan. Sementara itu, Lampung menurun dari aspek ekonomi," kata Toni lagi.

Menurut dia, dari hasil survei IKP Lampung 2017, antara lain, menunjukkan media di Lampung umumnya masih sangat bergantung pada iklan pemerintah daerah sehingga pemda dapat mudah mengatur kebijakan redaksi. Dampak lain adalah independensi dan sikap krtisis media terhadap kebijakan pemerintah makin pudar.

Dari 30 provinsi yang disurvei, sebanyak 18 provinsi IKP-nya dalam tataran "sedang/agak bebas", 12 provinsi "cukup bebas/baik". Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, termasuk di antara provinsi dengan IKP "baik/cukup bebas". Sementara itu, DKI Jakarta, Lampung, Bengkulu, Sumatera Utara, Maluku, dan Papua tergolong "sedang/agak bebas".

Bidang politik dan hukum paling memengaruhi tingginya kualitas kemerdekaan pers di provinsi-provinsi dengan indeks baik, terutama kebebasan dari kriminalisasi dan kebebasan dasar untuk berorganisasi dan mendirikan perusahaan media massa. Untuk provinsi dengan indeks "sedang/agak bebas" yang memperburuk kondisi kemerdekaan persnya adalah buruknya profesionalisme jurnalis dan etika pers serta masih tinggi intervensi perusahaan pada ruang redaksi (newsroom) serta aspek kurang dihargai keragaman media.

Secara kumulatif kemerdekaan pers di Indonesia pada 30 provinsi berada dalam posisi "agak bebas" (fairly free) atau membaik dengan indeks 68,95 dibandingkan IKP tahun sebelumnya (63,44) atau "agak bebas". Skor kemerdekaan pers di Indonesia tergolong "mendekati bebas".

Selain kasus kekerasan itu, AJI Bandarlampung menyoroti sejumlah kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh jurnalis. Catatan terkait pelanggaran etika ini penting sebagai bahan evaluasi bersama agar jurnalis bekerja lebih profesional, memegang teguh kode etik jurnalistik, dan menjaga independensinya, kata Ketua AJI Bandarlampung Padli Ramdan.

Dalam catatan AJI, jurnalis kerap membuat berita yang tidak "cover both side" atau tidak mengonfirmasi pihak yang diberitakan. Padahal, sesuai dengan standar jurnalistik, konfirmasi ini penting untuk menjaga keberimbangan tertentu sehingga tidak muncul apa yang disebut sebagai penghukuman media atau "trial by the press", katanya lagi.

Pelanggaran lain yang kerap dilakukan adalah tidak segera memuat hak jawab atau klarifikasi dari narasumber. Padahal, Dewan Pers telah menerbitkan Pedoman Hak Jawab, dan dalam UU Pers disebutkan bahwa pers yang tidak melayani hak jawab selain melanggar kode etik jurnalistik juga dikenai pidana denda sebesar Rp500 juta. Dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap wartawan juga dipicu akibat aktivitas jurnalistik yang tidak profesional, seperti jurnalis menurunkan berita tanpa konfirmasi atau terlambat memuat hak jawab narasumber yang merasa nama baiknya dirugikan. Narasumber kemudian meluapkan kemarahan dan melakukan kekerasan kepada jurnalis yang dinilai tidak profesional tersebut.

AJI Bandarlampung mengimbau semua jurnalis untuk bekerja lebih profesional dan menerapkan kode etik jurnalistik.

Memahami kode etik dan bekerja profesional ini penting untuk menjaga muruah profesi dan menghindarkan wartawan dari kasus kekerasan. Jurnalis menuntut profesi dan lembaga lain harus profesional, tetapi tuntutan serupa juga berlaku bagi profesi wartawan agar bekerja lebih profesional, kata Padli lagi.

Ia berharap masyarakat dan semua pihak menempuh mekanisme hak jawab dan klarfikasi atas kekeliruan yang dilakukan jurnalis serta media massa. Masyarakat juga diingatkan jangan merespons berita dengan tindakan kekerasan terhadap wartawan karena tidak dibenarkan dalam hukum. Mekanisme sesuai dengan pedoman Dewan Pers perlu ditempuh terkait dengan pemberitaan media massa.

Dalam setiap kasus kekerasan terhadap wartawan, katanya lagi, harus dilihat secara jernih dan dipahami kronologisnya karena tidak semua jurnalis layak untuk dibela. Hanya jurnalis yang profesional dan bekerja dengan standar etika yang tinggi layak dibela ketika menjadi korban kekerasan.

Salah satu cara menghentikan kekerasan terhadap wartawan adalah para jurnalis itu sendiri bersama media massa yang digunakan kembali diingatkan untuk menghormati hak masyarakat dalam mendapatkan informasi yang benar (right to know).

Menjadi kewajiban wartawan dan pers untuk menghadirkan berita yang aktual dan komprehensif, akurat, kritis, berimbang, dan mengutamakan kepentingan publik. Namun, publik dan para pihak umumnya juga diingatkan untuk menggunakan mekanisme yang benar saat menghadapi pemberitaan yang dinilai kurang benar atau merugikan kepentingan pihaknya, tidak justru menggunakan kekerasan terhadap pers.

Keseimbangan itu diharapkan dapat menekan atau bahkan mampu menghentikan kasus kekerasan terhadap jurnalis agar tidak berulang dan kembali terjadi ke depannya. (Ben/An/Budisantoso Budiman)
Previous Post Next Post

Contact Form