Menghadirkan Negara di Hutan Sigi Sulawesi Tengah Oleh Virna Puspa Setyorini



Jakarta, 2/9 (Benhil) Jika saat ini berkunjung ke sejumlah desa di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, dijamin akan menemukan suasana yang berbeda. Masyarakat di sana sedang sangat bersemangat menata hutan dan lahannya kembali.

Maklum, sejak Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta memasukkan Reforma Agraria ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), masyarakat di berbagai pelosok desa di Sigi begitu aktif bergerak bersama melakukan pemetaan partisipatif.

Hal itu guna mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong "land reform" dan kepemilikan tanah seluas sembilan hektare (ha) seperti yang tercantum dalam Nawawita ke-5.

Dapat dibayangkan, 125 desa dari total 176 desa di Sigi saat ini sedang bergerak bersama melakukan pemetaan partisipatif guna melengkapi persyaratan pengajuan alokasi untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) maupun perhutanan sosial yang terdiri dari hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan.

Bupati Irwan saat ditemui sejumlah wartawan, perwakilan Tim Kerja Reforma Agraria Kantor Staf Presiden (KSP), Yayasan Perspektif Baru dan Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi di kantornya, Selasa (29/8), mengatakan, pemetaan partisipatif 125 desa guna keperluan reforma agraria ini baru tahap pertama.

Jika hak atas hutan dan lahan yang diajukan untuk TORA dan perhutanan sosial telah diperoleh, akan dilanjutkan ke tahap kedua untuk desa-desa lainnya yang wilayahnya juga bersinggungan dengan hutan.

Sigi menjadi daerah pertama di Indonesia yang memasukan reforma agraria sebagai rencana pembangunannya. Secara aktif dan massif mengupayakan percepatan pemerataan ekonomi yang bertitik berat pada proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan atau akses, dan penggunaan lahan untuk masyarakat bawah.

Irwan mengatakan sambil reforma agraria berproses, peningkatan kapasitas masyarakat dilakukan dengan menggunakan Dana Desa. Kini sejumlah desa sudah menunjukkan hasil dengan munculnya Usaha Kecil Menengah (UKM) baru yang memproduksi berbagai jenis panganan.

Singkong dan ubi ungu dari desa-desa di Kecamatan Palolo kini rutin "diekspor" ke Bali. Sebanyak 100.000 bungkus panganan ubi ungu dikirim untuk memenuhi permintaan Bali dan belum seluruh permintaan terpenuhi karena keterbatasan produksi.

Ia telah memiliki rencana besar ketika hak kepemilikan maupun kelola lahan dan hutan masyarakat desa di sana telah kembali atau diperoleh dari negara, yakni menggerakkan perekonomian desa melalui program "One Village One Product" (OVOP), menciptakan satu produk unggulan di satu desa.

Tidak berhenti di sana, dia mengatakan, keberadaan OVOP akan diperkuat dengan menghadirkan industri kecil di tingkat kecamatan dengan konsep "One District One Product" (ODOP). Masih banyak hasil bumi Sigi yang belum diolah secara baik untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

"Yang belum kita olah itu kopi, ke depan akan kami usahakan juga," ujar Irwan.

Ketika nanti setiap keluarga telah memiliki hak atas lahan dan saat roda perekonomian dari OVOP mulai bergerak kencang di setiap desa, ia berharap secara merata setiap masyarakatnya merasakan hal yang sama, merasa sejahtera bersama.

Konflik sosial Sigi yang memiliki luas area 5.196 kilometer persegi (km2), 74 persen bagiannya merupakan kawasan hutan dan hanya 26 persen arenya yang merupakan kawasan budi daya yang dimanfaatkan untuk pemukiman, pertanian, peternakan hingga perkebunan.

Dari persentase tersebut tergambar bahwa kekuasaan negara terlalu besar terhadap hutan sehingga fenomena sosial muncul dalam masyarakat Sigi. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah kondisi ini dikhawatirkan menjadi bom waktu peningkatan jumlah masyarakat miskin di kabupaten ini.

Kegelisahan Irwan ini sebenarnya telah muncul sebelum dirinya mulai berkampanye untuk duduk menjadi orang nomor 1 di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Donggala ini. Konflik sosial banyak muncul di desa-desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) maupun di kawasan lindung dan konservasi.

Ada yang saat membuka pintu rumah mereka sudah ada di kawasan hutan konservasi atau lindung, ada juga desa yang ingin mengaliri listrik secara mandiri dengan mikrohidro tidak bisa karena aliran sungainya ada di kawasan lindung atau konservasi.

Ada yang kebun kakao atau kemirinya yang sudah tumbuh harus ditebang karena kebunnya ditetapkan masuk menjadi kawasan taman nasional, ujar dia.

Persoalan-persoalan agraria dan sosial yang disampaikan Bupati dipertegas oleh Koordinator Reforma Agraria Desa Pakuli Utara Arman. Saat ditemui di desanya, dia menceritakan bagaimana tapal batas TNLL sekitar tahun 2003 ditetapkan tidak dengan jalan musyawarah seperti model pemetaan partisipatif yang sedang dilaksanakan di desanya sekarang ini.

"Warga desa diminta berjalan sambil pikul patok untuk tapal batas taman nasional. Kalau capek, patok diturunkan oleh warga maka di situ ditetapkan tapal batasnya, saksi hidup yang memikul patok masih ada di sini," ujar Arman.

Sebelum adanya program reforma agraria ini, masyarakat ibarat rusa untuk bisa pergi ke kebunnya. Dia bersyukur proses pemetaan partisipatif di area kawasan yang dilakukan masyarakat desanya bersama pendamping dari Gugus Tugas Reforma Agraria Sigi juga berjalan lancar.

Kepala Desa Bunga, Kecamatan Palolo, Sigi, Markus Yalipiha juga mengatakan banyaknya benturan warga desa dengan pihak taman nasional. Bahkan tiga hingga empat tahun lalu ada warga desanya membuka lahan untuk berkebun demi memenuhi kebutuhan hidupnya harus berurusan dengan pihak Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.

"Bersyukur masih bisa dibicarakan, dikonsultasikan sehingga tidak harus mendekam di penjara. Tapi dua tahun lalu warga Desa Bodo sempat ditahan, bahkan meninggal di penjara," ujar dia.

Tidak hanya berkonflik dengan pihak taman nasional, warga Desa Bunga juga harus berhadapan dengan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan yang sebenarnya sudah ditelantarkan sejak 1996.

Menghadirkan negara Desa Bobo dan Desa Bunga di Kecamatan Palolo serta Desa Pakuli Utara di Kecamatan Gumbasa hanya beberapa desa dari total desa yang dimiliki Sigi. Dari tiga desa tersebut jumlah penduduk miskin hampir sama mencapai 160 hingga 161 Kepala Keluarga (KK) dari total antara 320 hingga 345 KK di masing-masing desa.

Itu artinya jumlah penduduk miskin di desa-desa Sigi nyaris separuh dari total penduduknya.

Akses lahan mereka begitu terbatas, bahkan ada yang hanya mencapai 0,5 ha saja untuk satu KK di Desa Bunga. Padahal pendapatan keluarga hanya bergantung pada sektor perkebunan saja.

Ini yang menjadi alasan Pemerintah Kabupaten Sigi menargetkan 125 desa menyelesaikan proses reforma agraria melalui kepemilikan TORA dan perhutanan sosial di 2017 guna mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Kegiatan ini ditargetkan rampung pada Oktober 2017, sehingga bisa langsung diajukan untuk alokasi TORA maupun perhutanan sosial ke pemerintah pusat.

Koordinator Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Sulteng Amran Tambaru mengatakan, prioritas pengajuan skema Hutan Adat dan TORA untuk 125 desa ini mencapai sekitar 75.000 ha. Namun angka tersebut masih kasar karena berupa perkiraan karena saja mengingat pemetaan partisipatif belum selesai.

Ada pula beberapa kawasan Hak Guna Usaha skala besar dengan luasan 500 hingga 1.000 ha yang semenjak mendapat izin tidak dimanfaatkan. "Bupati juga sudah tidak memperpanjang HGU yang tidak digunakan dan ingin segera bisa dibagikan ke masyarakat lewat reforma agraria," ujar dia.

Namun, dalam perjalanan pelaksanaan program reforma agraria dan perhutanan sosial, SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 180/2017 tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan Untuk Penyediaan Sumber Tanah Objek Reforma Agraria yang ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada 5 April 2017 hanya menetapkan alokasi 2000 ha untuk Sigi.

"Ada banyak kelompok masyarakat di Sigi yang menolak SK Menteri LHK 180 Tahun 2017. Ini karena hanya menetapkan peta indikatif alokasi objek TORA seluas 2000 ha saja," kata Sekretaris Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi Eva Bande.

Eva mengatakan meski data belum kuat namun sudah diteliti sehingga bisa dipastikan data dari peta indikatif alokasi TORA untuk Kabupaten Sigi tidak sesuai dengan objek yang disengketakan sehingga perlu dipastikan juga melalui pemetaan pertisipatif.

Dalam pembangunan nasional, reforma agraria dan perhutanan sosial menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi nasional melalui upaya pemerataan pembangunan, pengurangan kesenjangan, penanggulangan kemiskinan, keadilan lingkungan dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, reforma agraria dan perhutanan sosial menjadi salah satu prioritas nasional yang harus dijalankan oleh pemerintah pusat hingga daerah. Target program akan dicapai melalui dua skema legislasi dan redistribusi lahan seluas 9 juta ha serta melalui pelaksanaan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha.

Reformasi agraria dan perhutanan sosial menjadi bentuk hadirnya negara bagi masyarakat di hutan-hutan Indonesia. Tidak heran pada pertemuannya dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Istana Negara pada 22 Maret 2017, Presiden RI Joko Widodo menegaskan reforma agraria dan perhutanan sosial harus sukses berjalan, jika tidak harus ada pihak-pihak yang bertanggung jawab. (Ben/An)
Previous Post Next Post

Contact Form