Mengenal Induk Tanaman Kelapa Sawit di Kebun Raya Bogor


Besok pada Minggu pagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani prasasti plasma nutfah kelapa sawit pada Monumen Sawit di Kebun Raya Bogor (KRB) bersamaan dengan perayaan Dua Abad kebun raya peninggalan kolonial tersebut.

Penandatangan ini menjadi bukti komitmen pemerintah terhadap industri kelapa sawit di masa depan. Namun, tak banyak orang yang mengetahui kalau tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) yang menjadi primadona di Indonesia tersebut berasal dari kawasan di Afrika Barat yang dibawa oleh ahli botani asal Belanda pada 1848.

Menurut Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI (Kebun Raya Bogor) Didik Widyatmoko, kala itu ada empat pohon induk kelapa sawit yang ditanam di Buitenzorg Botanical Garden yang sekarang dikenal sebagai Kebun Raya Bogor.

Waktu itu Belanda mengumpulkan berbagai tanaman yang cocok ditanam di Indonesia, termasuk sawit (memiliki nama asli Elaeis Guninensis), kina dan kayu manis.

"Sawit jadi komoditas andalan Indonesia itu bermula dari sini," ujar Didik di sela acara Perayaan 2 Abad Kebun Raya Bogor dan penandatanganan Tugu Prasasti Plasma Nutfah Kelapa Sawit Indonesia di Bogor, Minggu.

Bibit sawit yang dibawa dari Afrika tersebut pertama kali ditanam tepat di lokasi prasasti itu. Keempat pohon tersebut dua berasal dari Bourbon (Mauritius) dan dua lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam (Belanda).

Waktu itu kami juga tidak tahu apakah produktivitasnya tinggi atau tidak, tapi yang jelas bibit itu dibawa Belanda dari Afrika dan sekarang telah menguasai perekonomian di Indonesia, kata Pelaksana Tugas atau Plt Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto.

Benih dari empat pohon tersebut pada awalnya bukan dibudidayakan sebagai tanaman perkebunan, namun ditanam sebagai tanaman hias dan peneduh pada perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara.

Pada tahun 1853 keempat tanaman tersebut telah berbuah dan bijinya disebarkan secara gratis. Pada pengamatan tahun 1858, ternyata keempat tanaman tersebut tumbuh subur dan berbuah lebat.

Walaupun berbeda waktu penanaman (asal Bourbon lebih dulu dua bulan), tanaman tersebut berbuah dalam waktu yang sama, mempunyai tipe yang sangat beragam, kemungkinan diperoleh dari sumber genetik yang sama.

Melihat pertumbuhan yang sangat baik, kemudian M Adrien Hallet, seorang warga Belgia, membangun perkebunan kelapa sawit pada skala ekonomi seluas 2.630 hektare (ha) di Sumatera Utara dan Aceh pada 1911.

Perkembangan industri perkebunan kelapa sawit yang berkembang berimbas pada penelitian dan pemuliaan benih kelapa sawit. Benih dari tanaman sawit yang ditanam di perkebunan tembakau di Deli tersebut lantas menyebar ke seluruh Indonesia dan Malaysia.

Bahkan, kata ujar Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Hasril Hasan Siregar, benih tersebut juga menyebar ke berbagai perkebunan kelapa sawit yang ada di Asia Tenggara.

Lantaran benih tersebut banyak disebarkan dari Deli, maka kemudian pohon induk tersebut diberi nama Dura Deli, lanjutnya, dan Dura Deli merupakan "mother of palm" yang hingga kini sudah mencapai empat generasi. Dari pohon induk Dura Deli tersebut telah menghasilkan bibit-bibit unggul kelapa sawit yang dilakukan oleh para pemulia yang juga sudah mencapai empat generasi. Hingga kini, total sudah ada 50 varietas bibit unggul kelapa sawit, di mana plasma nutfahnya berasal dari Dura Deli.

PPKS sendiri telah menghasilkan 12 varietas bibit unggul, sementara 14 produsen benih lainnya menghasilkan 38 varietas. Jadi total ada 50 varietas benih sawit unggul yang dihasilkan dari Deli Dura ini.

Saat ini, keempat pohon induk yang menjadi pangkal cerita sukses perkebunan sawit di Indonesia itu sudah mati pada 1992 karena dimakan usia.

Namun jejaknya tak pernah hilang karena kini, kelapa sawit bisa disebut sebagai pahlawan devisa Indonesia, mencapai Rp239 triliun, jauh mengungguli komoditas lain, baik komoditas migas maupun non-migas dengan luas area perkebunan mencapai sekitar 11,9 juta hektare.

Nah kita tidak ingin kehilangan sejarah itu. Maka kita ingin mengembalikan bahwa Kebun Raya Bogor tetap menjadi sejarah perkembangan industri sawit, Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono.

Oleh karena itu, GAPKI mengapresiasi Presiden Jokowi yang bersedia menandatangani prasasti plasma nuftah kelapa sawit tersebut. Hal itu membuktikan bahwa negara punya komitmen yang besar terhadap industri kelapa sawit ini. Dengan prasasti diharapkan agar anak-cucu kita tidak lupa bahwa di tempat itu ada sejarah yang penting bagi republik ini.

Tak jauh dari tugu prasasti tersebut, juga ditanam beberapa benih kelapa sawit sebagai koleksi plasma nutfah di Kebun Raya Bogor.

Berbagai upaya itu diperlukan untuk melestarikan plasma nutfah kelapa sawit, supaya ke depan menjadi sumber untuk berbagai aktivitas penelitian dan riset di Tanah Air.
Previous Post Next Post

Contact Form