Melindungi Masyarakat Dari Produk Ilegal


Maraknya produk ilegal masih menjadi salah satu isu utama perlindungan masyarakat sebagai konsumen sepanjang 2017 dan diperkirakan persoalan itu berlanjut pada 2018, terlebih dengan masuknya produk ilegal dari negara lain.

Masuknya barang-barang ilegal dari negara lain bukan sebatas dugaan atau tuduhan, namun sungguh ada dan terjadi. Hal itu dapat dilihat dengan beredarnya barang-barang ilegal di masyarakat dan di sisi lain adanya tindakan hukum berupa penyitaan dan serta pemusnahan oleh aparat terkait. Yang telah menjadi tantangan aparat pemerintah selama ini adalah masih banyaknya peredaran barang ilegal dari negara lain. Bentuk dan macamnya juga diperkirakan semakin beragam, dari makanan, obat- obatan, kosmetik, narkoba, bibit tanaman, alat rumah tangga dan sebagainya.

Semua itu seperti "serbuan" dan memusingkan aparat terkait yang harus menegakkan aturan. Kalau masyarakat Indonesia tampaknya sangat pragmatis dan sangat tidak peduli dengan status ilegal atau legal. asalkan beredar di pasaran dan harganya murah.

Masyarakat tidak peduli bahwa peredaran barang-barang ilegal akan menghancurkan industri di dalam negeri terutama usaha kecil dan mikro (UKM). Sikap masyarakat itu menambah semakin banyak peredaran barang-barang ilegal dari luar negeri. Entah bagaimana dan dari lokasi mana barang-barang itu masuk.

Bus-bus antarkota dan antarprovinsi yang baru keluar dari Terminal Kampung Rambutan di Jakarta Timur merupakan salah satu tempat bagi pedagang asongan untuk memasarkan produknya. Selain memasarkan makanan atau minuman produksi dalam negeri, di antara mereka juga terdapat tenaga-tenaga pemasaran untuk produk-produk ilegal, seperti senter, alat pijat, alat cukur dan beberapa lainnya yang tampaknya bukan produksi dalam negeri.

Mereka naik dari Kampung Rambutan, turun di Slipi atau Kebon Jeruk. Ada juga yang naik di Kebon Jeruk turun di tempat istirahat atau "rest area" yang ada di sepanjang jalan tol Jakarta-Mereak (Banten). Begitu terus aktivitas itu berlangsung setiap hari dengan beragam barang.

Sulit mengatakan apakah barang-barang itu laku di bus-bus dengan penumpang antarkota dan antarprovinsi itu. Namun rutinitas yang bisa dikatakan setiap hari mungkin bisa menunjukkan bahwa daya serap masyarakat sebagai konsumen juga ada di bus. Kalau tidak ada pangsa pasarnya, maka mereka tentu tak perlu memasarkannnya di bus.

Jangan tanya soal kualitas dari harga barang yang murah karena sejatinya harga barang lininer atau segaris lurus dengan kualitas. Rutinitas pedagang asongan di bus itu menunjukkan barang-barang itu punya pasar di masyarakat. Mungkin lebih karena faktor harga yang murah.

Berita yang disiarkan Antara menunjukkan bahwa tindakan represif berupa penyitaan barang ilegal kemudian memusnahkannya hampir ada setiap hari. Untuk periode 1-31 Desember 2017 saja terdapat setidaknya 244 berita dengan kategori kata "ilegal" yang sebagian menyangkut barang-barang ilegal dari luar negeri.

Sedangkan untuk kata kunci "perlindungan konsumen" sebanyak 46 berita. Berita-berita umumnya menyangkut perlindungan konsumen di dalam negeri baik bersumber dari pemerintah maupun lembaga nonpemerintah yang memberi perhatian kepada persoalan tersebut.

Beberapa hari menjelang pergantian tahun, menjadi momentum bagi aparat keamanan untuk seharusnya "cuci gudang" barang-barang ilegal sitaan untuk kemudian dimusnahkan. Ada beragam cara untuk pemusnahannya, dari dihancurkan dengan alat berat, dibakar hingga dihancurkan dengan alat penghancur.

Lemah Persoalan itu yang menjadi salah satu sorotan akhir tahun 2017 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terkait perlindungan masyarakat sebagai konsumen. Bagi Ketua YLKI Tulus Abadi menilai sepanjang 2017 cukup banyak kasus yang menunjukkan bahwa perlindungan masyarakat sebagai konsumen di Tanah Air masih sangat lemah. Persoalan itu kemudian direspons Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Minuman atau BPOM yang langsung menyediakan lima mobil pemusnah (incinerator) produk ilegal dan berbahaya. Mobil-mobil itu disebar ke beberapa daerah dengan tingkat pelanggaran tertinggi, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Serang (Banten).

Menurut Kepala BPOM Penny Lukito, kegiatan pemusnahan obat dan makanan ilegal yang dilakukan BPOM merupakan salah satu cara untuk memastikan agar obat dan makanan ilegal tidak lagi beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. Lima unit mobil pemusnah itu merupakan bagian dari upaya memperkuat penegakan hukum dengan membangun infrastruktur pendukung operasi penyidikan dan penegakan hukum.

Karena itu, diharapkan unit BPOM yang menerima mobil incinerator mampu meningkatkan kinerjanya dalam pengungkapan kasus sebagai upaya perlindungan seluruh lapisan masyarakat.

Pendistribusian lima mobil pemusnah ke sejumlah unit BPOM tersebut juga menggunakan pertimbangan cakupan wilayah dengan temuan pelanggaran dan barang bukti terbanyak, tingkat kesulitan cukup tinggi dan aktif melakukan pemusnahan. Ke depannya, semua unit BPOM seperti balai besar dan balai di daerah akan berangsur memiliki mobil pemusnah. Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Hendri Siswadi mengatakan mobil incinerator tersebut dapat menghemat 50 persen anggaran untuk pemusnahan obat dan makanan berbahaya.

Selama ini, BPOM memusnahkan obat dan makanan berbahaya selalu bekerja sama dengan pihak ketiga. Ini pertama kali BPOM punya unit mobil pemusnah. Dengan langkah yang efektif dan efisien tak perlu lagi mengontrak pihak ketiga karena akan bisa "mobile" dan melayani beberapa wilayah. serta aman.

Meski demikian, mobil yang memadai itu baru lima unit sehingga lebih memasifkan tindakan pemusnahan mau tidak mau masih harus melibatkan pihak lain. Sebenarnya hal itu tidak masalah asalkan komitmen tetap tinggi walaupun mungkin belum seefektif dan seefisien apabila menggunakan peralatan sendiri.

Ke depan, BPOM agaknya perlu lebih memperbanyak pengadaan kendaraan tersebut dan juga peralatan lainnya mengingat banyaknya barang uang diduga selundupan lolos ke wilayah Indonesia dan dipasarkan di masyarakat.

Banyaknya kasus yang berhasil diungkap Kepolisian dan Ditjen Bea Cukai bisa menjadi tolok ukur bahwa "serbuan" produk ilegal sedang berlaangsung ke arah Indonesia.

Anggota Sub Direktorat I Indagsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jambi pada 3 Desember 2017 mengamankan tiga truk yang mengangkut sejumlah barang selundupan asal negara lain. Barang-barang asal luar negeri tanpa bea masuk itu tersebut diamankan dari Ekspedisi Cinta Saudara yang berlokasi di Jalan Sentot Alibasa, RT 7 Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Palmerah, Kota Jambi Menurut Wakapolda Jambi Kombes Polisi Ahmad Haydar didampingi Direktur Reserse Kriminal Khusus Kombes Pol Winarto dan Kabid Humas AKBP Kuswahyudi Tresnadi, barang selundupan yang diamankan seperti mainan anak-anak, pakaian wanita, jam tangan, sepatu, tas wanita serta suku cadang kendaraan tanpa cukai masuk. Barang-barang ini masuk melalui Batam lewat pelabuhan tikus dan rencananya mau dibawa ke Jakarta.

Kasus itu terungkap setelah adanya laporan informasi dari masyarakat adanya pengiriman barang dari luar negeri melalui Jambi dengan tujuan Jakarta dan kemudian polisi memeriksa setiap giat usaha paket atau ekspedisi barang di wilayah Jambi yang diduga barang hasil selundupan.

Pada Minggu (3/12) sekitar pukul 08.00 WIB berlokasi di Ekspedisi Cinta Saudara Jl. Sentot Alibasa RT. 7 No. 67 Kelurahan Payo Selincah Kecamatan Pal Merah ditemukan barang selundupan tersebut.

Setelah menerima informasi, dilakukan pengecekan didapatkan tiga mobil truk yang telah menurunkan barang barang paket yang datang dari Desa Kot Modusnya dengan sebagian barang paket telah ada diekspedisikan dan manifes dibawa sopir truk dari ekspedisi Jaso Kito Bukit Tinggi Sumbar untuk mengelabui petugas. Jumlah barang paket yang diamankan kurang lebih 296 buah dan diduga berasal dari Tiongkok tujuan Singapura. Atas perbuatan itu yang diduga melakukan pelanggar pasal 110 jo pasal 36 UU RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan jo Permendag Nomor 87 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.

Kemudian pasal 62 jo 8 ayat 1 huruf a UU RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pada 120 ayat 1 jo pasal 53 ayat 1 huruf b UU RI Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Penyidik Polda Jambi telah memeriksa Marno (50), Jumijan (40), Barudin (34) dan Mulayadi (43) semuanya sebagai sopir.

Selundupan tidak itu saja, Polda Jambi di akhir Desember 2017 mengamankan dan menggagalkan peredaran minuman keras (miras) impor berbagai merek yang nilainya miliaran rupiah dan akan diselundupkan ke Jambi. Kuswahyudi Tresnadi didampingi Kasubdit I Ditreskrimsus Polda Jambi AKBP Guntur Saputro mengungkapkan penggagalan penyelundupan miras impor tanpa dokumen resmi masuk ke Jambi, setelah pada Rabu 27 Desember lalu, polisi menerima informasi akan ada masuk barang selundupan diduga miras luar negeri.

Anggota Ditreskrimsus Polda Jambi kemudian melakukan penyelidikan dan hasilnya pada Rabu (lalu 27/12), anggota meluncur ke lokasi jalan Lintas Timur Sumatera tepatnya di KM 180 Dusun Sungai Panoban Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan mendapatkan ciri-ciri kendaraan yang mengangkut miras impor ilegal tersebut.

Anggota Ditreskrimsus bersama PJR Polda menghentikan tiga mobil truk yang dicurigai mengangkut miras impor ilegal tanpa dokumen resmi ini dengan modus operandi mengirimnya dengan bersamaan barang lainnya guna mengelabui petugas selama di jalan. Setelah dicek dokumennya ternyata ketiga unit mobil truk yang mengangkut miras tersebut tidak bisa menunjukkan dokumen resminya sehingga harus dibawa ke Mapolda Jambi untuk diproses lebih lanjut.

Ada dugaan miras impor bernilai miliaran rupiah itu akan masuk ke Jambi dan diedarkan pada malam tahun baru. Polisi masih melakukan penyelidikan pelaku utamanya atau pengirim dan penerima barang haram tersebut. Hasil penghitungan polisi ada sebanyak 596 duz atau 7.153 botol berbagai merek, seperti martell, VSOP, chivas regal, jack daniel, black label, absolut vidka, bombay sapphire dan cointreau. Seluruh barang bukti termasuk tiga unit mobil truk dengan plat nomor polisi asal Jakarta diamankan di Mapolda Jambi.

Pelakunya dikenakan pasal 62 jo pasal 8 ayat 1 huruf e UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pasal 142 jo pasal 91 UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pangan dengan ancaman maksimal hukuman kurungan dua tahun penjara dan denda Rp4 miliar.

Ini dua kasus besar yang diungkap oleh Polda Jambi selama Desember saja. Padahal di Indonesia ada 34 provinsi dan ada banyak sekali pelabuhan termasuk pelabuhan tikus sehingga "serbuan" barang ilegal dikhawatirkan masih akan terjadi selama 2018.

Penegakan hukum, komitmen, kerja keras, koordinasi dan sinergi semua pihak terkait untuk mengatasi ini tampaknya semakin dibutuhkan agar persoalan ini bisa diatasi.

Kalau bukan sejarang, kapan lagi? (Sri Muryono)
Previous Post Next Post

Contact Form