Mencoba Mengusut Akar Korupsi Pada Badan Peradilan

Komisi Yudisial Aparat Peradilan

Komisi Yudisial (KY) mencatat terdapat 26 orang aparat peradilan yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat dalam kasus korupsi sejak tahun 2010.

Dari 26 orang aparat peradilan yang terjaring OTT, 17 di antaranya menjabat sebagai hakim dan sisanya menjabat sebagai panitera pengganti, pejabat di Mahkamah Agung (MA), sekretaris panitera dan panitera muda. Dari 17 hakim yang tertangkap tangan oleh KPK sejak 2010, lima diantaranya adalah hakim tindak pidana korupsi.

Sementara dilihat dari tahun penangkapan, banyak aparat peradilan yang tertangkap tangan oleh KPK pada tahun 2016 yaitu sebanyak tujuh aparat, dan pada Januari 2017 hingga Oktober 2017 terdapat empat orang aparat peradilan yang tertangkap tangan.

Jumlah ini belum termasuk hakim yang menjalani sidang Majelis Kehormatan Hakim akibat dugaan menerima suap. Komisi Yudisial mencatat jumlah hakim yang menjalani sidang di Mahkamah Kehormatan Hakim (MKH) karena dugaan suap sejak tahun 2009 berjumlah 22 hakim. Maraknya kasus suap yang melibatkan aparat peradilan dinilai oleh Komisi Yudisial sebagai biang pengkhianatan yang harus dicari jalan keluarnya.

Juru Bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi menyampaikan kasus korupsi atau penyuapan yang menyeret aparat penegak hukum bukan lagi persoalan oknum, tetapi menurutnya ada sistem pembinaan yang tidak berjalan sebagaimana semestinya.

Disebut bukan oknum karena kejadian ini terus berulang dan rentang waktu yang tidak terlalu jauh, jelas Farid.

Sementara itu Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah menyebutkan bahwa Mahkamah Agung tidak akan memberikan toleransi kepada seluruh aparat peradilan yang melakukan penyimpangan perilaku, baik dalam tahap etika maupun tindak pidana. Abdullah menyatakan Mahkamah Agung dengan tegas akan langsung menjatuhi sanksi kepada aparat yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Atas maraknya penangkapan terhadap aparat peradilan, baru-baru ini Mahkamah Agung mengeluarkan Maklumat Ketua MA Nomor 01 Maklumat/KMA/ IX/ 2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur Mahkamah Agung, dan Badan Peradilan di Bawahnya.

Maklumat tersebut menyebutkan bahwa Mahkamah Agung tidak akan memberikan bantuan hukum kepada hakim maupun aparatur dan badan peradilan di bawahnya yang diduga melakukan tindak pidana dan diproses di pengadilan.

Pengawasan-Pencegahan Mengenai maklumat yang dikeluarkan oleh Makamah Agung, mantan Komisioner Komisi Yudisial Suparman Marzuki menyebutkan Mahkamah Agung harus konsisten dengan maklumat yang dikeluarkan terkait dengan aparat peradilan yang tertangkap tangan kasus korupsi.

"Hukuman harus diberikan secara berjenjang, evaluasi seluruh pimpinan, audit penanganan perkara, dan libatkan orang-orang yang kompeten untuk distribusi perkara," kata Suparman.

Pengawasan dan pembinaan terhadap hakim juga dikatakan oleh Suparman harus diperbaiki dan tidak hanya menyentuh permukaan saja. Menurutnya, korupsi sudah menjadi satu adat baru dalam dunia peradilan, sehingga memiliki etika dan tata krama tersendiri.

Melihat hal tersebut baik Komisi Yudisial maupun Badan Pengawas Mahkamah Agung seharusnya bisa mengikuti arus dan pola yang terjadi sehingga dapat melakukan pencegahan dengan lebih baik.

Hal serupa juga dikatakan oleh mantan Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 Maruarar Siahaan yang menilai baik Komisi Yudisial maupun Badan Pengawas Mahkamah Agung seharusnya melakukan perbaikan sistem pengawasan hakim. Kekuasaan hakim itu mutlak harus diawasi, karena kekuasaan hakim yang independen itu berasal dari rakyat dan tanggung jawabnya untuk rakyat, ujar Maruarar.

Gaya Hidup Beberapa waktu lalu seorang hakim muda dari Pengadilan Negeri Jambi menulis status di salah satu media sosialnya yang memberikan kritik kepada Mahkamah Agung terkait dengan pola hidup mewah sebagian hakim, seperti adanya iuran tenis hingga fasilitas mobil mewah bila pimpinan Mahkamah Agung melakukan kunjungan ke daerah.

Pola hidup mewah ini kemudian dinilai sebagai salah satu pemicu bagi beberapa hakim untuk melakukan jual beli putusan perkara, hingga akhirnya tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi seperti yang baru-baru ini marak terjadi.

Menurut hakim muda tersebut maklumat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak terlalu dibutuhkan, karena sejatinya para hakim lebih membutuhkan keteladanan pimpinan.

Menanggapi status hakim muda tersebut, Direktur Puskapsi Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono berpendapat reformasi peradilan tidak cukup hanya melalui regulasi, namun juga perubahan gaya hidup hakim.

"Kita dapat menelisik sesungguhnya reformasi peradilan tidak cukup hanya melalui regulasi, tetapi juga gaya hidup hakim," ujar Bayu.

Menurut Bayu, pola hidup hakim ini perlu mendapat perhatian karena nyatanya masih banyak hakim yang memiliki dan menonjolkan gaya hidup mewah. Bayu menilai gaji pokok dan tunjangan hakim pada saat ini sudah lebih dari cukup, namun bila tuntutan pola hidup mewah masih ada maka sebesar apapun pendapatan hakim tidak akan pernah cukup.

Kendati demikian kebutuhan di luar kebutuhan pokok seperti menjalin relasi itu terbangun dengan menonjolkan gaya hidup mewah, ucapnya.

Sependapat dengan Bayu, Suparman juga mengatakan bahwa hakim seharusnya memiliki pola hidup sederhana dan tidak meniru pola birokrasi pada umumnya.

Gaya hidup hakim ini harus diperhatikan meskipun penghasilan mereka tergolong tinggi, tapi kalau gaya hidup tidak sesuai inilah yang akan menjadi malapetaka. (Ben/An)

Maria Rosari

Previous Post Next Post

Contact Form