Strategi "Survival Of The Fittest" Bagi Mal


Mal Jakarta

Jakarta, 14/10 (Benhil) - Persaingan dalam ekonomi memang untuk para pelaku usaha yang tangguh, terutama bila kondisi perekonomian ternyata menjadi melesu karena semakin sedikitnya orang yang berbelanja di mal atau pusat perbelanjaan.

Kelesuan tersebut juga dirasakan oleh sejumlah mal yang terdapat di wilayah DKI Jakarta, meski ada juga yang terus menunjukkan kinerja yang melesat.

Pengembang apartemen Green Pramuka menyatakan kinerja mal di Jakarta yang mengalami tren kecenderungan menurunnya jumlah pengunjung sebenarnya bukan terkait daya beli.

Namun, menurut Marketing Director Green Pramuka City Jeffrey Yamin melihat hal tersebut lebih kepada akibat kesalahan strategi pengembang properti.

Ia menyatakan hal itu sudah dilihat pihaknya dari sekitar beberapa tahun yang lalu, seperti pada tahun 2010, jumlah pusat perbelanjaan atau mal yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih atau setara lahan seluas 4 juta meter persegi.

Perhitungan tersebut dinilai telah melebihi batas ideal antara jumlah mal dan jumlah penduduk.

Menurut dia, hal tersebut juga direpotkan dengan sejumlah pengembang yang justru terus membangun mal.

Hal tersebut membuat Pemprov DKI bahkan sampai mengeluarkan pembatasan pembangunan mal dengan mengeluarkan instruksi gubernur pada tanggal 20 Oktober 2011.

Jeffrey berpendapat potensi pengembangan mal saat itu disebabkan karena kecenderungan masyarakat Jakarta yang kerap menjadikan pusat perbelanjaan sebagai obat stres.

juga mengingatkan ada kajian yang menunjukkan bahwa rata-rata orang Jakarta, yang mayoritas adalah perempuan, ternyata bisa menghabiskan waktu hingga sekitar tiga jam setiap kali mengunjungi mall.

Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, pembangunan pusat perbelanjaan terus berjalan di berbagai daerah di wilayah ibu kota.

Sampai tahun 2013, terdapat 564 pusat perbelanjaan di Jakarta dengan jumlah terbanyak terdapat di area CBD (Central Business District).

Namun disayangkan, para pengembang juga dinilai mengabaikan tren yang sedang terjadi pada masyarakat yang tinggal di megapolitan di negara-negara lain.

Mengutip data Green Street Advisors, lembaga pemantau industri pusat perbelanjaan, sejak tahun 2010 sedikitnya ada 30 mal di penjuru Amerika Serikat yang terpaksa ditutup dan 60 mal yang mulai sepi pengunjung.

Menurut Jeffry, saat itu pengembang mal di AS ramai-ramai menuding belanja daring (online) sebagai biang keladi sepinya mal, padahal tidak disadari bahwa hal itu karena jumlah mal yang terlalu banyak.

Okupansi Sementara itu, konsultan properti Colliers International menyoroti okupansi mal-mal di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tingkat keterisian tahun-tahun sebelumnya.

Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto memaparkan okupansi di pusat perbelanjaan Jakarta merupakan yang terendah selama 10 tahun terakhir, yaitu berada pada posisi 83,5 persen pada kuartal III-2017.

Menurut dia, peritel di wilayah ibu kota umumnya mengalami jumlah penjualan yang menurun, yang dalam sejumlah kasus mengakibatkan penurunan sejumlah gerai.

Selain itu, penduduk kelas menengah dan menengah-bawah dinilai juga semakin selektif dalam membelanjakan pendapatan yang diterimanya.

Hal tersebut antara lain karena meningkatnya biaya hidup dan meningkatnya kecenderungan untuk menabung akhir-akhir ini.

Sedangkan konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) menyatakan kinerja pusat perbelanjaan kelas atas meningkat tetapi hal yang berbeda terjadi pada kinerja mal kelas bawah yang dinilai relatif semakin tidak menarik bagi warga ibukota.

Head of Research JLL Indonesia James Taylor memaparkan, destinasi mall primer mengalami okupansi tinggi dan "foot traffic" (jumlah pengunjung) yang menunjukkan penguatan.

Menurut dia, mall premium relatif lebih memiliki gerai penjualan makan dan minuman yang lebih atraktif, begitu pula dengan gerai usaha jenis fesyen dan bidang hiburan, serta memiliki tingkat okupansi yang lebih tinggi.

Untuk mal kelas bawah, pada saat ini relatif mengalami kunjungan terbatas dan beberapa gerai tutup karena berubahnya preferensi konsumen, tingkat daya beli konsumen yang melemah, dan meningkatnya belanja online atau dalam jaringan.

Ferry Salanto juga menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan melalui perdagangan elektrobik (e-commerce) berdampak kecil kepada kinerja mal karena hal tersebut lebih dipengaruhi kondisi daya beli masyarakat.

Menurut dia, hanya sejumlah merek atau waralaba komoditas tertentu saja yang penjualannya memiliki ketergantungan dengan proses "e-commerce" atau transaksi melalui internet.

Ferry mengingatkan berdasarkan suatu kajian, bahwa hanya sekitar 1 persen dari pembelian yang dilakukan saat ini yang menggunakan proses melalui transaksi digital "e-commerce".

Ia juga berpendapat bahwa berbagai pusat perbelanjaan yang ada di wilayah ibukota pada saat ini merupakan salah satu sasaran hiburan warga yang tidak bisa tergantikan.

Generasi milenial Sementara itu, Senior Associate Director Retail Services Colliers International Indonesia, Steve Sudjianto mengingatkan bahwa saat ini, jumlah konsumen yang terus berkembang pesat adalah mereka yang disebut sebagai generasi milenial.

Untuk itu, Steve Sudjianto menyatakan pengelola mal harus beradaptasi dengan generasi yang lahir pada abad ke-21 ini.

Strategi itu, ujar Steve, dapat dilakukan dengan peritel yang dinilai mesti berevolusi ke "life style" (gaya hidup) dan "entertainment" (hiburan), karena kebanyakan generasi milenial adalah "digital-minded".

Karena itu, menurut dia, saat ini banyak pengelola mal yang melakukan renovasi dalam rangka memuaskan keinginan para pengunjungnya.

Di tingkat global, Steve mencontohkan peritel pakaian Uniqlo di Jepang yang telah menjual produknya melalui 'vending machine' (mesin otomatis), atau di Inggris yang memiliki kompleks "container park" di mana seluruh toko yang ada di kawasan itu terdiri atas kontainer.

Ia mengingatkan bahwa "nyawa"-nya mal adalah pengunjung, tetapi tidak hanya berdasarkan jumlah pengunjungnya yang banyak, tetapi juga dengan banyaknya pengunjung yang berbelanja di mal tersebut.

Karena itu, para pengelola pusat perbelanjaan tidak hanya di wilayah ibukota, tetapi juga di daerah lainnya, juga harus memiliki strategi "survival of the fittest" atau adaptasi yang baik, bila kinerja bisnisnya juga terus ingin meningkat. (Ben/An)

Muhammad Razi Rahman
Previous Post Next Post

Contact Form