Tantangan Tiada Akhir Perguruan Tinggi

Dies Natalis ke-60 Univ Padjadjaran


Dunia perguruan tinggi, baik di tataran global maupun nasional, kini sedang menghadapi tantangan yang serius ketika perkembangan teknologi informasi digital berlangsung dalam laju yang kian cepat.

Perusahaan raksasa skala global semacam Google Inc. sudah membunyikan sirene yang menandai salah satu tantangan itu. Dalam merekrut tenaga kerjanya, perusahaan itu tak lagi menyaratkan diploma alias ijazah kesarjanaan. Siapa pun bisa diterima dengan syarat memenuhi kualifikasi yang ditetapkannya.

Para pakar juga meramalkan bahwa tindakan Google Inc. itu akan diikuti oleh lembaga-lembaga komersial atau dunia industri lain, yang semua ini membuat setiap orang untuk berkesimpulan bahwa bila demikian adanya, untuk apa lagi menempuh pendidikan di perguruan tinggi jika kualifikasi yang dibutuhkan itu bisa dicapai tanpa bergumul di perguruan tinggi selama empat hingga lima tahun.

Di Tanah Air, ketika menghadiri acara perayaan Dies Natalis ke-60 Universitas Padjadjaran di Bandung beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo pun mengingatkan kalangan kampus untuk berubah dalam upaya menghadapi tantangan yang semakin besar akibat perkembangan atau perubahan zaman yang sangat cepat.

Peringatan itu tampaknya urgen mengingat sampai saat ini masih ada perguruan tinggi, behkan bisa dibilang sebagian besar di antara institusi yang ada, yang mengelola perguruan tinggi secara konvensional, dengan paradigma ortodoks. Tak sedikit para dosen yang menenggang mahasiswa bimbingan mereka berlama-lana menyelesaikan studi. Dosen itu seolah tutup mata ketika sang mahasiswa dalam hitungan tahun tak selesai-selesai menuntaskan tugas akhir.

Tanpa harus menyebut nama perguruan tinggi negeri terkemuka di Jawa Tengah, masih ada dosen di sana yang membiarkan mahasiswa di program studi sejarah untuk menyelesaikan gelar sarjana alias strata satu sampai tujuh tahun. Persoalannya kenapa lama? Sang mahasiswa tak rampung-rampung menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Barangkali soalnya terletak pada pola skripsi yang terlampau formalistik dengan standar tak substansial seperti harus setebal sekian halaman.

Ini sesungguhnya ironis jika dikomparasikan dengan program studi di perguruan tinggi di Amerika Serikat misalnya. Untuk mencapai gelar magister, seorang mahasiswa di program studi ilmu-ilmu sosial atau humaniora, cukup membuat tesis cukup 20 halaman.

Para dosen di Tanah Air masih belum seragam dalam memaknai temuan hasil penelitian yang bisa dijadikan karya tugas akhir untuk menyelesaikan studi S1. Problemnya bisa jadi akibat kebijakan yang dibuat oleh birokrasi perguruan tinggi. Hal ini merupakan salah satu tantangan yang harus diterobos melalui kebijakan yang lebih kreatif inovatif.

Tidak bisakah, misalnya, tugas akhir yang formalistik itu dicapai dengan jalan lain yakni menulis artikel opini yang dimuat di media massa arus utama yang tepercaya. Bahkan, bisa pula ditawarkan bentuk kebijakan yang substansial ini: tugas akhir itu cukup dengan penulisan makalah atau artikel yang tak lebih dari lima halaman namun berisi gagasan orisinal.

Selesaikan masalah Pada dasarnya, perguruan tinggi dituntut mencetak insan yang mampu menyelesaikan masalah di lingkungannya. Dengan bingkai berpikir demikian, makna-makna atau konsep-konsep konvensional dalam ilmu pengetahuan harus senantiasa diperbarui setiap saat.

Tidak bisakah, misalnya, untuk menyelesaikan studi strata satu untuk program studi sastra dan budaya seorang mahasiswa cukup menghasilkan satu karya fiksi yang diterbitkan, tak peduli diterbitkan secara independen atau oleh penerbit komersial yang mapan.

Terobosan-terobosan semacam ini, setidaknya, di lingkup program studi humaniora perlu dicoba sebagai realisasi dari usaha perguruan tinggi menjawab tantangan zaman.

Tentu apa yang diharapkan dari perguruan tinggi itu fondasinya perlu juga dibangun sejak peserta didik mengenyam pendidikan di jenjang menengah atas, yang jika diteruskan berujung pada harapan mengenai perlunya pembenahan di jenjang pendidikan dasar.

Ketika persoalan terjadi di tataran yang lebih tinggi sebagaimana yang terjadi di dunia perguruan tinggi, persoalan itu kadang terbawa dari jenjang pendidikan di bawahnya. Kurangnya daya kritis dan kreatif mahasiswa dalam menggeluti bidang studinya tak jarang bisa dirunut sampai ke jenjang yang lebih mendasar.

Dengan demikian, persoalan keniscayaan untuk berubah di dunia pendidikan bukan lagi terbatas pada jenjang pendidikan tinggi tapi juga menengah dan dasar.

Dalam perkembangan atau kemajuan zaman yang dipicu temuan teknik dan teknologi mutakhir, faktor penunjangnya tentu cukup kompleks, bukan sekadar tingkat kreativitas dan inovasi sumber daya manusia, tapi juga kemajuan perangkat struktur yang mewadahi sumber daya manusia itu.

Itu sebabnya, dua faktor itu harus dibangun secara simultan sehingga orang-orang kreatif dan inovatif yang dihasilkan dunia perguruan tinggi tak tersedot oleh lembaga asing yang memang mampu menyediakan ruang berkreasi bagi sang alumni perguruan tinggi tersebut.

Jalan lain yang perlu ditempuh oleh perguruan tinggi untuk menjawab tantangan zaman adalah merekrut dosen berkualifikasi internasional. Yang banyak terjadi selama ini adalah penerimaan tenaga pengajar di perguruan tinggi lebih berorientasi ke kandang sendiri. Artinya, perguruan tinggi di sini cenderung merekrut alumni almamater dan tak meluaskan pencarian dosen hingga ke tataran internasional.

Hanya segelintir perguruan tinggi yang melakukannya dan sebagian besar masih mengutamakan alumni almamater untuk mengajar di kampusnya.
Previous Post Next Post

Contact Form